JAKARTA, LINTAS — Guna menanggulangi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 pemerintah melakukan berbagai efisiensi, termasuk mengatur ulang kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM setelah 17 Agustus 2024 hanya diberikan kepada rakyat yang berhak menerima.
Langkah-langkah efisiensi dan penghematan itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, lewat unggahan video di akun Instagramnya, Rabu (10/7/2024).
“Salah satu yang harus diatur ulang adalah pemberian subsidi yang tidak pada tempatnya. Sekarang Pertamina sedang menyiapkan, kita berharap 17 Agustus ini sudah bisa dimulai di mana orang yang tidak berhak mendapatkan subsidi akan dikurangi,” ujarnya.
BBM bersubsisi merupakan BBM yang diberikan subsidi oleh pemerintah menggunakan dana APBN dan memiliki jumlah yang terbatas sesuai kuota yang ditetapkan pemerintah dan hanya diperuntukkan untuk konsumen pengguna tertentu. Jenis BBM yang termasuk BBM bersubsidi adalah biosolar dan pertalite.
Terkait rencana pembatasan subsidi ini, Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, Kamis (11/7/2024), dikutip Kompas.id, mengatakan, pada prinsipnya, Pertamina mengikuti arahan pemerintah. “Yang pasti, Pertamina telah mengupayakan agar penyaluran subsidi BBM lebih tepat sasaran melalui program Subsidi Tepat, salah satunya dengan penggunaan teknologi informasi,” kata Fadjar.
Penerapannya kebiakan itu, kata Fadjar, antara lain pada transaksi BBM bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time guna memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak.
“Selain itu, juga melalui program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Sudah ada lebih dari 8.000 SPBU, termasuk yang berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T),” ujarnya.
Menurut Luhut, Indonesia sekarang sedang mendorong penggunaan biotanol untuk menggantikan bensin supaya polusi udara bisa dikurangi cepat. Hal itu sekarang sedang diproses oleh Pertamina. Jika ini bisa diterapkan, kata Luhut, selain mampu mengurangi kadar polusi udara, tingkat sulfur yang dimiliki bahan bakar alternatif ini juga tergolong rendah. Selain itu, jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bisa ditekan dan pembayaran BPJS untuk penyakit tersebut bisa kita dihemat hingga Rp 38 triliun.
“Ada banyak potensi peneriman negara yang belum diambil. Dari data yang saya terima, ada banyak perusahaan kelapa sawit yang belum memiliki NPWP, hal ini menyebabkan kita tidak bisa menagih PPh badan. Jika sistem ini sudah bisa di implementasikan, maka penerimaan pajak bisa ditingkatkan.
Digitalisasi
Dalam upaya melakukan efisiensi, menurut Luhut, penerapan digitalisasi di semua sektor sangat penting. Sebagai contoh Simbara. Sistem terintegrasi ini dapat menekan selisih angka terkait data mineral di antaranya batubara, nikel, dan lain-lain.
“Dengan semakin kecilnya selisih perbedaan tersebut, tentu akan menekan pula potensi kerugian negara. Sekarang kami juga menerapkan sistem semacam Simbara ini untuk kelapa sawit, mengingat banyak penerimaan negara yang potensial belum kita ambil dari sini.
Menurut Luhut, lesunya penerimaan negara disebabkan karena inefisiensi yang terjadi di berbagai sektor. Hal ini sebetulnya sudah mulai ditanggulangi secara bertahap melalui digitalisasi yang telah diterapkan dalam kegiatan pemerintahan dan bisnis.
“Jika semua sektor pemerintahan sudah menerapkan digitalisasi, efisiensi bisa diciptakan, celah untuk berkorupsi bisa berkurang, dan yang paling penting penerimaan negara bisa kembali meningkat. (HRZ)
Baca Juga: Aplikasi Usulan BBM Subsidi Transportasi Laut Diluncurkan