Bagaimana nasib swasembada pangan yang tercantum dalam Asta Cita jika kebijakan penghapusan kuota impor pangan benar-benar dilakukan. Ada ketegangan, ironi dan bahkan kontradiksi dari dua kebijakan berbeda yang dilakukan oleh orang yang sama, Presiden Prabowo Subianto.
Poin kedua Asta Cita Pemerintah menekankan pada pemantapan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau dan ekonomi biru. Hal yang paling terdampak jika kuota impor dihapus akan menimpa upaya swasembada pangan.
Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan untuk menyederhanakan birokrasi dan mencegah praktik korupsi dalam penentuan kuota impor. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat melemahkan sektor pertanian domestik dan menghambat upaya swasembada pangan.
Ironisnya lagi, cita-cita Indonesia mandiri pangan di mana salah satunya terbebas dari impor beras yang sangat tinggi, justru sedang digalakkan sampai-sampai melibatkan berbagai kepentingan dan lembaga lainnya. Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum, misalnya, merupakan dua Kementerian yang paling disibukkan atas upaya swasembada pangan khususnya upaya meningkatkan produksi beras sebagai makanan pokok.
Bagi petani sendiri, swasembada pangan merupakan angin segar di mana dapat menjual hasil pertanian dengan harga sesuai pasar. Jika kuota impor dihapus dan pemerintah mengizinkan impor beras tanpa kuota, sudah dipastikan memukul para petani dan lebih luas lagi memukul cita-cita swasembada pangan.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena beras impor masal biasanya lebih murah dengan kualitas yang sama -bahkan lebih baik dalam beberapa kasus- dengan yang dihasilkan para petani lokal. Jelas, petani akan terpukul dengan ditebasnya kuota impor ini.
Benar bahwa Presiden Prabowo menginstruksikan penghapusan kuota impor untuk komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti daging sapi. Presiden menilai bahwa sistem kuota sering kali menjadi lahan korupsi dan menghambat pelaku usaha.
Dengan membuka keran impor, diharapkan pelaku usaha dapat lebih mudah berbisnis tanpa terjerat birokrasi yang rumit. Di lapangan, penghapusan kuota impor bisa terjadi pada komoditas lainnya, bukan hanya daging sapi, mengingat para pejabat dan pengusaha “nakal” dapat mengakali kebijakan ini untuk keuntungan mereka. Segala komoditas terkait pangan bisa saja tanpa kuota impor.
Penghapusan kuota impor jelas dapat mengancam kehidupan petani, peternak, dan nelayan, khususnya para pelaku ekonomi yang terkait kebutuhan pangan. Pasar domestik otomatis akan dibanjiri produk impor murah yang dapat menurunkan harga komoditas lokal dan merugikan produsen dalam negeri.
Baca Juga: Swasembada Pangan, Pemerintah Atur Distribusi Pupuk Bersubsidi
Intinya, kebijakan impor yang tidak terkontrol dapat melemahkan sektor pertanian lokal, merugikan petani, dan mengancam produksi pangan domestik. Bahkan, ketergantungan yang berlebihan pada impor berisiko mengganggu ketahanan pangan nasional di masa depan .
Sebelum terlambat dan barang-barang impor “menggerujuk” masuk, untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan pemerintah perlu menyeimbangkan kebijakan impor dengan upaya yang lebih kuat untuk mendukung produksi pangan lokal. Upaya ini termasuk melakukan investasi di infrastruktur pertanian, penelitian dan pengembangan teknologi pertanian, serta kebijakan harga yang melindungi petani lokal dari dampak negatif produk impor .
Kebijakan penghapusan kuota impor oleh Presiden Prabowo memang baik, yakni untuk memperbaiki sistem impor yang selama ini dianggap koruptif dan menghambat pelaku usaha.
Akan tetapi, tanpa pengawasan dan strategi yang tepat, kebijakan membuka kran impor ini dapat mengancam swasembada pangan yang ujung-ujungnya mengancam pula kesejahteraan petani lokal.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini diimbangi dengan dukungan nyata terhadap sektor pertanian domestik agar cita-cita mewujudkan swasembada pangan bukan sekadar cita-cita tinggal cita-cita alias mengejar harapan kosong. (PEP)