Transisi kekuasaan di negara mana pun sering dianggap persoalan krusial dan menjurus krisis, termasuk peralihan pemerintahan seorang presiden lama kepada presiden penggantinya di negeri ini. Titik krisis ini tidak lain karena egosentrisme pribadi presiden lama yang merasa telah paham mengelola negara selama lima atau 10 tahun berkuasa, senyampang presiden lama menganggap presiden baru tidak cukup berpengalaman dalam menjalankan roda pemerintahan kelak.
Selain itu, ada persoalan psikologis antara presiden lama—yang akan pensiun dan tidak berkuasa lagi—dengan presiden baru, yang masih lekat dengan euforia kemenangan pada pemilihan presiden langsung serta semangat menggebu-gebu untuk mengimplementasikan gagasan pribadinya sebagai seorang presiden pengganti. Presiden baru ingin tampil beda dengan presiden lama. Tidak jarang ada hasrat terpendam tidak ingin melanjutkan program-program presiden lama. Pihak yang dirugikan bila transisi kekuasaan tidak berjalan mulus tidak lain rakyat yang sejatinya pemilik kedaulatan itu sendiri.
Kita ingin peralihan kekuasaan di masa transisi yang kritis ini berjalan dengan mulus, lepas dari egosentrisme masing-masing. Tenggang waktu selama delapan bulan terhitung dari pelaksanaan Pilpres pada 14 Februari 2024 menuju pelantikan presiden baru pada 20 Oktober 2024 sudah diperhitungkan sedemikian rupa oleh penyusun konstitusi negara sebagai waktu transisi kekuasaan yang cukup.
Persoalannya, waktu delapan bulan akan berlalu sia-sia jika tidak ada komunikasi yang intens antara kedua presiden, yakni presiden lama dan penggantinya, mengenai peralihan kekuasaan ini. Setidak-tidaknya, tim sukses presiden berperan aktif dalam menjembatani masa peralihan kekuasaan ini, bukan malah memanas-manasi.
Adalah hal yang melegakan melihat kedekatan antara Presiden Joko Widodo dengan penggantinya, Prabowo Subianto. Secara politis, kedekatan itu tercipta karena Prabowo adalah Menteri Pertahanan pada Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Jokowi, nama popular Joko Widodo.
Selain itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam Pilpres lalu, preferensi Presiden Jokowi agar Prabowo menjadi penggantinya demikian terang benderang. Kedekatan politis dan psikologis di antara keduanya sejatinya menguntungkan saat transisi kekuasaan berlangsung. Karena itu, harapan kita agar peralihan kekuasaan dapat berjalan secara mulus sangat terbuka dan tidak ada salahnya.
“Kemesraan” antara Presiden Jokowi dan penggantinya, Prabowo, tidak terjadi saat transisi kekuasaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Presiden Joko Widodo pada satu dekade lalu. Kala itu, transisi kekuasaan berlangsung mendebarkan dan membuat rakyat menantikan drama kekuasaan yang terjadi, meski pada akhirnya peralihan kekuasaan itu berlangsung cukup mulus tanpa gejolak yang merugikan rakyat.
Apa yang disebut post-power syndrome sebagai kondisi psikologis seorang penguasa yang kehilangan kekuasaannya kerap muncul ke permukaan dan kita menganggap hal itu seyogiyanya tidak terjadi pada saat peralihan kekuasaan nanti. Pada masa lalu, “Tour de Java”, yakni muhibah politik Presiden SBY setelah melepaskan kekuasaannya kepada penggantinya, dimaknakan sebagai “perasaan masih berkuasa” tersebut.
Niscaya sindroma “perasaan masih berkuasa” ini tidak terjadi pada Presiden Jokowi mengingat kedekatannya dengan presiden pengganti, Prabowo, yang tidak lain “bawahan” di pemerintahannya. Bahkan, sebagaimana diakui oleh Prabowo sendiri yang pada dua bulan mendatang akan dilantik sebagai Presiden RI, ia berusaha “belajar menjadi” Presiden dengan terus mengikuti rapat-rapat kabinet dan bahkan menyertai kunjungan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Suatu peristiwa politik yang tidak pernah terjadi pada peralihan kekuasaan di tahun-tahun sebelumnya.
Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie di awal Reformasi membuat pemerintahan ini gamang dan bahkan terguncang. Ini karena Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun tidak pernah menyiapkan penggantinya selain secara konstitusional wakil presiden otomatis menggantikan kedudukan presiden jika berhalangan, sementara Habibie dianggap belum siap menerima amanah berat ini, meski pada rentang kekuasaan yang pendek, Presiden Habibie telah membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang sedang melilit hebat.
Transisi kekuasaan dari Presiden Habibie kepada penggantinya, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), juga tidak berjalan mulus, sebagaimana halnya transisi kekuasaan dari Gus Dur kepada presiden penggantinya, Megawati Soekarnoputri. Apalagi saat transisi kekuasaan dari Megawati ke Presiden SBY, yang menyisakan “dendam politik” hingga sekarang. Untuk itu “kemesraan” pada masa-masa transisi kekuasaan yang sangat kritis dan krusial ini perlu dicermati dengan baik. Para politikus di partai-partai politik yang mau tidak mau terpolarisasi pada dua kubu dan politikus yang duduk di parlemen, harus dapat menahan diri demi mulusnya transisi kekuasaan ini.
Buku-buku teks tentang ilmu pemerintahan mencatat, transisi kekuasaan dari seorang presiden kepada presiden penggantinya merupakan proses penting sekaligus genting yang harus dikelola dengan baik. Kita ingin memastikan kesinambungan pemerintahan dan stabilitas negara, khususnya terkait dengan program-program pembangunan yang sedang berjalan. Jika program-program pembangunan sudah terselesaikan pada periode kepemimpinan seorang presiden, maka titik krusial ada pada program-program yang masih berjalan seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Karena itu, keberlanjutan pembangunan IKN menjadi semacam “taruhan”. Selain pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta kementerian terkait telah mengeluarkan anggaran yang demikian besar sejak dimulainya pembangunan IKN hingga tahap sekarang ini, jaminan terselesaikannya pembangunan IKN juga merupakan komitmen kepada para investor dalam dan luar negeri.
Kedua belah pihak, yakni presiden lama dan presiden baru, harus berkomitmen menyelesaikan program-program pembangunan yang masih berjalan mengingat pembangunan IKN dipayungi Undang-undang yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dengan DPR.