JAKARTA, LINTAS – Berdasarkan data Vital Statistic DKI Jakarta, polutan terbesar berasal dari sektor transportasi. Kemudian disusul industri dan pembangkit listrik (power plant). Sejumlah perencanaan strategis untuk mengatasi hal ini sudah disiapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Hal itu dipaparkan oleh Direktur Transportasi Bappenas Ikhwan Hakim kepada Majalahlintas.com di ruang kerjanya, Rabu (23/8/2023).
“Data Vital Statistic DKI Jakarta menyebutkan 67 persen berasal dari sektor transportasi. Kemudian industri 26,8 persen dan power plant 5,7 persen.
Seperti diberitakan sejumlah media, Jakarta sempat menempati peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara paling buruk di dunia pada 20 Agustus 2023.
Dipaparkan, menurut Survei IQAIR, Jakarta menempati peringkat pertama dengan konsentrasi Particulate Matter (PM) 2.5 mencapai 75 µg/m³, 15 kali lipat di atas ambang panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 µg/m³.
Berdasarkan studi Vital Statistic, polusi udara di Jakarta terdiri dari 5 polutan, yaitu SO2, ada NOX, CO, PM 10, dan PM 2,5. PM 2,5 paling berbahaya karena sangat kecil dan bisa masuk paru-paru.
“Polusi akibat faktor eksternalitas. Dengan 31,24 juta jiwa penduduk dan 88 juta pergerakan setiap hari. Sebanyak 26,37 juta kendaraan pribadi di Jakarta, data tahun 2022 ini. Dari jumlah kendaraan itu 14,5 persen mobil dan 75,8 persen sepeda motor,” ujarnya.
Selain itu, kata Ikhwan, keberadaan truk pengangkut logistik dari dan ke Pelabuhan Merak ke arah Cikarang juga sumbangannya besar dalam buruknya kualitas udara di Jabodetabek,” tutur Ikhwan.
Ia mengatakan, polusi udara ini juga diperparah karena kondisi geografi wilayah Jabotabek yang dibatasi oleh pegunungan. Sementara dari laut anginnya berembus kencang. Akhirnya, udara yang terpolusi itu terhalang dan berputar kembali di atas wilayah Jabotabek.
Sementara sumber dari PM2.5, sebesar 32–57 persen dari tingkat PM 2.5 dikontribusikan oleh kendaraan berbahan bakar bensin dan diesel. Kemudian sumber primer nonkendaraan termasuk pembakaran batubara, pembakaran terbuka, aktivitas konstruksi (non-pembakaran), dan debu jalan; dan sumber alami seperti: tanah dan garam laut menyumbang sebesar 17-46 persen.
Perbandingan dengan Bangkok
Sebagai perbandingan, di kota lain di dunia, seperti Bangkok, menurut Statista, memiliki jumlah penduduk sebanyak 10,72 juta jiwa pada 2021.
”Kemudian perjalanan di Bangkok sebanyak 46 persen dengan angkutan umum dan 64 persen dengan kendaraan pribadi. Namun kualitas udara di Bangkok jauh lebih baik daripada Jakarta,” ujarnya.
Dengan mode share yang didominasi oleh kendaraan pribadi, baik Jakarta maupun Bangkok, tetapi memiliki kualitas udara yang berbeda sehingga hal ini menunjukkan terdapat isu yang perlu diidentifikasi lebih lanjut.
Baca Juga: Jakarta Termacet Ke-2 di ASEAN, Angkutan Massal Perkotaan Mendesak Dibenahi
Data menunjukkan, angkutan umum di Jakarta, yaitu MRT memiliki kapasitas 40.000–60.000 penumpang/jam/arah. Lalu LRT memiliki kapasitas 18.000–20.000 penumpang/jam/arah. Adapun BRT memiliki kapasitas 8.000–10.000 penumpang/jam/arah.
“Sebanyak 32 persen penduduk terlayani transportasi umum di Jabodetabek pada tahun 2019,” kata Ikhwan.
Peran Jakarta sebagai pusat kegiatan mengakibatkan banyaknya kendaraan dari luar yang masuk ke Jakarta. Tercatat rata-rata sebanyak 18.000 kendaraan masuk ke Jakarta setiap hari.
Kemudian, saat ini masih didominasi kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil. Kualitas bahan bakar, baik bensin maupun solar, belum memenuhi standar emisi Euro IV untuk mengurangi produksi gas rumah kaca. Standar tersebut menetapkan kandungan sulfur dalam bahan bakar tidak boleh melebihi 10 parts per million (ppm). Sementara kendaraan bermotor listrik di Jabodetabek saat ini hampir 1.500 unit dan di Jakarta sebanyak 1.092 unit.
Solusi
Dalam kesempatan itu, Ikhwan membeberkan sejumlah solusi guna mengatasi masalah transportasi perkotaan, terutama di Jakarta.
Pertama, pembenahan kelembagaan perlu dilakukan. Saat ini pengelolaan masih terpecah, contoh MRT belum bisa membangun di luar Jakarta karena belum ada kelembagaan sehingga kendaraan dari Bodetabek masih didominasi kendaraan pribadi.
Kedua, perencanaan secara terpadu lintas wilayah (urban mobility plan metropolitan), meliputi jangka pendek dan menengah panjang perlu dilakukan.
Travel demand management, yang saat ini dilakukan, seperti WFH, mendorong penggunaan angkutan umum dapat dilakukan dalam jangka pendek.
”Akan tetapi, solusi yang lebih berkelanjutan adalah membangun angkutan umum. Pada 2035, direncanakan pengembangan MRT Jakarta dengan total 10 line (424 km) dan pengembangan LRT dengan total 11 line (113,6 km). Di samping pengembangan angkutan umum berbasis rel, terdapat juga rencana perluasan BRT yang saat ini memiliki layanan 251.2 km dan rencana elektrifikasi armada BRT Transjakarta tahun 2030,” kata Ikhwan.
Ketiga, mengatasi permasalahan kondisi dan teknologi kendaraan, yakni dalam jangka pendek perlu penegakan uji emisi, untuk selanjutnya diperlukan peningkatan kualitas bahan bakar dan konversi dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Keempat, terkait pembiayaan membutuhkan komitmen dari pemerintah daerah, dukungan dari pemerintah pusat, serta partisipasi swasta.
“Bappenas telah merancang skema pembiayaan, seperti yang dilakukan pada proyek MRT dan ini akan dilakukan untuk kota-kota lain juga,” kata Ikhwan. (HRZ/PAH/ROY)
Baca Juga: Atasi Masalah Transportasi Publik, Kemenhub Jalankan Program Pembelian Layanan