JAKARTA, LINTAS – Kecelakaan di perlintasan sebidang kembali memakan korban jiwa. Peristiwa nahas pada 8 April 2025 lalu, saat Commuterline Jenggala menghantam truk trailer di JPL 11 (antara Stasiun Indro dan Kandangan), menewaskan seorang asisten masinis. Insiden ini seakan jadi pengingat bahwa perlintasan sebidang masih menjadi titik rawan yang belum tersentuh solusi menyeluruh.
Menurut Djoko Setijowarno, Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, perlintasan sebidang selama ini hanya dianggap sebagai prasarana penunjang. Padahal, seharusnya perlintasan ini dimasukkan sebagai prasarana pokok dalam sistem perkeretaapian nasional.
“Negara belum benar-benar hadir di jalur perlintasan lintas untuk memastikan keselamatan pengguna jalan dan perjalanan kereta api,” tegas Djoko, dalam pesan tertulis yang diterima Lintas, Kamis (17/4/2025).
Tanggung Jawab yang Tak Proporsional
Djoko mengatakan, petugas penjaga perlintasan (PJL) sering kali menjadi pihak yang disalahkan ketika kecelakaan terjadi, meski faktanya merekalah yang paling rentan dan paling minim perlindungan. Padahal, menurutnya, banyak petugas PJL yang digaji di bawah UMR, tidak mendapat tunjangan, dan dibebani biaya pelatihan yang mahal oleh lembaga pelatihan pemerintah.

Lebih ironis lagi, lanjut Djoko, jika kecelakaan terjadi, petugas PJL bisa dijadikan tersangka karena dianggap lalai, sementara instansi yang menugaskan tidak melakukan pembinaan atau monitoring rutin.
Data PT KAI 2025 menunjukkan ada 3.896 perlintasan sebidang di Indonesia, dengan 1.093 di antaranya termasuk kategori liar. Dari jumlah itu, 1.879 tidak memiliki penjaga.
Sementara pengelolaan terbagi antara PT KAI, Pemda, swasta, hingga swadaya masyarakat, namun hanya PT KAI yang mendapat dukungan pembiayaan dari skema Infrastructure Maintenance and Operation (IMO).
“Ini menimbulkan kecemburuan antar pengelola. Pemda, meskipun juga bertanggung jawab, tidak memperoleh bantuan anggaran yang layak untuk operasional maupun perawatan. Akibatnya, banyak perlintasan yang tak layak, terutama di daerah yang tidak dilalui kereta penumpang secara aktif,” tegasnya.
Aturan Sudah Ada, Tapi Tak Ditegakkan
Tata cara melintasi perlintasan sebidang sejatinya sudah diatur melalui Peraturan Dirjen Perhubungan Darat No. SK 770/KA.401/DRJD/2005. Namun, kesadaran pengguna jalan masih minim. Mulai dari menerobos palang, melanggar marka, hingga tidak memperhatikan rambu, semua memperbesar potensi kecelakaan.
Padahal, kereta api tidak memiliki kemampuan untuk berhenti mendadak karena karakteristik fisiknya yang unik—berat, berbahan besi, dan tidak memiliki kemudi.
Baca Juga: Imbas Efisiensi Anggaran, Perlintasan Sebidang Tidak Dijaga Ini Kata KAI
Sementara itu, kata Djoko, rencana besar Kementerian PUPR untuk membangun flyover dan underpass sebanyak 138 titik hingga 2039 senilai Rp 21,39 triliun tampaknya sulit terealisasi.
“Tahun 2025, dengan alasan efisiensi anggaran, pelaksanaan program ini justru melambat,” tuturnya.
Djoko menyayangkan kondisi ini. Baginya, penghematan anggaran tidak semestinya menyentuh sektor keselamatan. Ia menegaskan, “Percuma negara menghasilkan manusia unggul lewat program makan bergizi, tapi justru kehilangan mereka di jalan akibat kecelakaan transportasi.”
Hingga saat ini, penyelesaian persoalan perlintasan sebidang masih sebatas wacana. Belum ada langkah konkret yang menjadikan proyek ini sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Akibatnya, korban terus berjatuhan, sementara kebijakan hanya berputar pada reaksi pascakejadian—seperti penutupan jalan secara sepihak oleh PT KAI.
Djoko mengajak seluruh pihak untuk melihat isu perlintasan sebidang sebagai tanggung jawab bersama, bukan sekadar kewajiban teknis. Dengan kolaborasi lintas sektor dan prioritas pada anggaran keselamatan, Indonesia bisa mewujudkan sistem perkeretaapian yang benar-benar aman dan modern. (GIT)