Banyak pengunjung berkerumun pada sebuah gendang raksasa yang dibuat di bawah paviliun, tak jauh dari zona Air Menari atau Zona Aek Na Tio di Waterfront City Pangururan, Pulau Samosir, Danau Toba.
Waterfront City adalah sebuah ruang publik yang dibangun di pinggir Danau Toba di Pangururan sejauh 1,5 kilometer. Tempat destinasi wisata ini dibangun oleh Kementerian PUPR melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Sumatera Utara.

Rasa keingintahuan pengunjung membawa Lintas juga ikutan-ikutan penasaran. Apalagi saat itu, Jumat (24/11/2023), sedang gerimis. Lintas dan sejumlah pengunjung, yang ingin menyaksikan Kejuaraan Dunia Jetski Aquabike 2023, merangsek untuk berteduh di bawah paviliun yang diberi nama Aek Margondang tersebut.
Gendang raksasa yang berukuran panjang sekitar 3 meter itu memiliki diameter lebih kurang 1 meter. Gendang raksasa ini akan berfungsi ketika akan berputar. Agar berputar, gendang itu dihubungkan dengan rantai yang terhubung dengan kincir air.

Jika kincir air berputar dengan memanfaatkan arus air, gendang ikut berputar. Di sekujur bodi gendang ada berupa tonjolan yang ketika bergerak akan menyenggol pemukul gendang dan gong. Tonjolan-tonjolan di gendang tersebut sepertinya dibuat sedemikian rupa dengan menghasilkan irama gendang.

Selain dengan kincir air, gendang juga bisa diputar dengan menggenjot sepeda yang dihubungkan dengan dinamo sehingga energi yang dihasilkan dengan putaran sepeda bisa dikonversi dengan bergeraknya gendang raksasa.

Aek Margondang
Secara harafiah, kata “margondang” berarti memainkan gendang, atau membunyikan gendang. Aek artinya air. Aek margondang berarti air yang memainkan gendang.
Bagi orang Batak, margondang adalah sebuah tradisi adat yang dilakukan khususnya di Sumatera Utara. Dalam tradisi ini, orang-orang Batak (sanak saudara) dari orang yang meninggal menari mengelilingi jenazah anggota keluarga sambil diiringi alunan alat musik. Margondang biasanya dilakukan pada saat acara-acara adat, seperti pada saat pesta perkawinan.
Penelusuran Lintas, tujuan dari margondang adalah sebagai bentuk penghormatan dan perpisahan terhadap orang yang telah meninggal. Selain itu, margondang juga menjadi sarana untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan dan menguatkan ikatan kekeluargaan di antara masyarakat Batak.

Menurut beberapa orang Batak yang Lintas temui, sejarah Margondang itu sangat panjang dan kaya serta telah menjadi bagian integral dari budaya Batak. Meski demikian, detail spesifik tentang asal-usul dan perkembangan Margondang masih belum banyak diketahui.
Sekitar tahun 2015, Lintas pernah melayat ketika orangtua seorang sahabat meninggal di daerah Jakarta Timur. Ada sekelompok orang dengan pakaian khas dan mengenakan ulos yang menari mengelilingi peti jenazah sambil diiringi alunan musik tradisional Batak. Tarian ini dilakukan dengan gerakan yang penuh semangat dan diiringi oleh lagu-lagu adat yang menggambarkan rasa duka dan penghormatan terhadap orang yang telah meninggal.

Margondang ini mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur masyarakat Batak. Apalagi menjadi bukti kuatnya ikatan kekeluargaan di antara mereka.
Di Waterfront City Pangururan, Danau Toba, tradisi ini dilestarikan. Keberadaan Aek Margondang ini pun, paling tidak, menjadi penjaga kebudayaan Batak (Baca: Indonesia) sehingga tidak pernah punah dan tetap lekang di pikiran dan hati seluruh anak bangsa.
Sayang, ketika Lintas berkunjung, pergelaran musik dari Aek Margondang ini belum bisa dioperasikan. Muka air anak sungai yang mengalir di Danau Toba masih belum bisa menyentuh kincir air. (HRZ/PAH)