Home Profil Mislan, Sahabat Air, Ilmuwan Lingkungan, dan Pemersatu Masyarakat

Mislan, Sahabat Air, Ilmuwan Lingkungan, dan Pemersatu Masyarakat

Share

Air bukan hanya elemen kehidupan—air adalah kehidupan itu sendiri. Bagi Dr Mislan, MSi, pemaknaan terhadap air telah menembus batas akademik, menjelma menjadi cinta yang hidup dan mengalir dalam setiap aspek pengabdiannya. Lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 17 Mei 1968, ia tumbuh dalam lingkungan yang membentuk sensitivitasnya terhadap alam, khususnya air.

Oleh Achmad Maliki

Sebagai dosen di Universitas Mulawarman Samarinda, Mislan telah lebih dari tiga dekade berkiprah di bidang fisika lingkungan dan klimatologi. Namun, kiprahnya jauh melampaui ruang kelas.

Ia tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga mempraktikkan ilmunya melalui riset dan aksi nyata di masyarakat. Ia menyusuri desa-desa, menapaki pinggiran sungai, dan menyeberangi danau demi satu tujuan: menyelamatkan lingkungan air Indonesia.

Keprihatinannya terhadap meningkatnya frekuensi bencana seperti banjir dan kekeringan membuatnya tidak tinggal diam. Ia percaya bahwa bencana bukan semata-mata takdir, melainkan akibat dari rusaknya hubungan manusia dengan alam. “Air itu berjiwa,” tulisnya dalam salah satu puisinya. Kalimat ini bukan sekadar metafora, tetapi keyakinan filosofis yang mendasari semua tindakannya.

Air itu berjiwa, Sudah saatnya kita hormati, selalu kita jaga dan bela, seperti kita menjaga diri,
Sudah saatnya kita perbaiki hubungan kita dengan air, agar kita menjadi sahabatnya.
Banjir, longsor, kekeringan dan pencemaran adalah cermin buruk sikap kita padanya
Itu pilihan kita, pilihan yang sangat buruk
Sangat tidak adil menyalahkan air
Kita yang salah.

Melalui karya tulis, Mislan mengartikulasikan keprihatinan dan harapannya. Buku Cinta Bersama Air adalah cerminan kedalaman perasaannya terhadap alam. Di dalamnya, air digambarkan sebagai ibunda yang sabar, tetapi terluka. Banjir dan kekeringan, menurut dia, adalah tangisan alam akibat perilaku manusia yang abai dan rakus.

Ia bukan hanya penulis yang produktif, tetapi juga seorang penyair lingkungan. Puisinya berjudul Surat dari Banjir menggugah pembaca untuk merenung.

Ia menulis: “Sangat tidak adil menyalahkan air. Kita yang salah.” Dalam kalimat ini, tertanam ajakan untuk introspeksi kolektif atas dampak perbuatan kita terhadap lingkungan.
Keterlibatan langsung Mislan dalam advokasi dan restorasi lingkungan menjadikannya lebih dari sekadar akademisi.

Di Forum DAS Mahakam Berau, ia bersama rekan-rekannya rutin mengunjungi desa-desa yang terdampak banjir. Desa Semayang, Melintang, dan Muara Enggelam menjadi saksi kepeduliannya. Di sana, ia bukan hanya pendengar, melainkan juga jadi sahabat, bahkan kadang dianggap bagian dari keluarga.

Keahliannya dalam bidang klimatologi menjadikannya rujukan penting dalam setiap diskusi pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Ia kerap menekankan bahwa kerusakan DAS dan pembabatan hutan adalah penyebab utama terganggunya keseimbangan hidrologi.

Dalam banyak kesempatan, ia menyampaikan bahwa kerusakan ekosistem air adalah hasil dari kebijakan yang lemah dan pengawasan yang longgar.

Oleh:

Share