JAKARTA, LINTAS – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menegaskan kembali keberpihakan pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam upaya mewujudkan Program Tiga Juta Rumah.
Dalam rapat pembahasan dengan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) di Jakarta, Senin (25/11/2024),
Ara, begitu ia akrab disapa, menyoroti pentingnya program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang seharusnya tidak dipaksakan, melainkan bersifat sukarela dan mendukung keinginan masyarakat untuk memiliki rumah layak.
Ara menyatakan bahwa apabila program Tapera dipaksakan untuk bersifat wajib, nama “tabungan” yang digunakan untuk program ini perlu dievaluasi kembali.
“Posisi saya, kalau tabungan, ya, tabungan. Nama harus menyesuaikan fungsinya. Kalau mau wajib, jangan pakai nama tabungan,” tegasnya.
Pernyataan ini mencerminkan keberpihakan Ara terhadap prinsip dasar ekonomi rakyat kecil, di mana segala bentuk kebijakan harus mempermudah akses mereka, bukan justru memberatkan.
Ia juga mengingatkan BP Tapera untuk berinovasi, menciptakan sistem yang menarik bagi masyarakat sehingga mereka benar-benar merasa manfaat dari program tersebut.
“Jangan kerjanya kita maksa-maksa saja. Terkadang kita maksa tapi tidak ada manfaatnya, ya, orang yang dipaksa marahlah,” ujar Ara.
Ia menekankan, keberhasilan program perumahan nasional harus melibatkan keinginan masyarakat secara aktif dan bukan berdasarkan paksaan.
Penghasilan Rendah
Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mempercepat realisasi Program Tiga Juta Rumah, Ara juga meminta agar kebijakan terkait program ini, terutama yang berkaitan dengan akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah, diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan riil di lapangan.
Ia berharap agar BP Tapera bisa lebih fleksibel dan mengutamakan cara-cara yang lebih menarik untuk mendorong masyarakat menabung, dengan harapan agar mereka dapat memperoleh rumah dengan harga yang terjangkau.
Selain itu, Ara mengungkapkan bahwa pemerintah juga memanfaatkan lahan sitaan koruptor untuk mendukung pembangunan perumahan bagi MBR.
Sebagai contoh, lahan seluas 1.000 hektar di Banten yang disita dari tangan koruptor oleh Kejaksaan Agung, kini akan digunakan untuk membangun rumah bagi rakyat.
Langkah ini tidak hanya menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, tetapi juga memastikan bahwa sumber daya yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat dapat digunakan kembali untuk kepentingan umum.
Sebagai bukti keberlanjutan komitmen terhadap program ini, beberapa perusahaan besar telah menunjukkan dukungannya, seperti Agung Sedayu Group, Adaro Group, Salim Group, dan Astra melalui skema corporate social responsibility (CSR).
Atasi Kesenjangan
Kerja sama dengan sektor swasta ini diharapkan dapat mempercepat penyediaan perumahan yang layak bagi masyarakat Indonesia.
Hingga akhir Oktober 2024, pemerintah telah mencapai pembangunan 94.086 unit rumah dari target 145.976 unit.
Capaian ini meliputi rumah susun, rumah khusus, dan rumah swadaya yang dibangun di berbagai daerah.
Namun, pemerintah masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi target, terutama dalam mengatasi kesenjangan antara kebutuhan rumah dengan kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah.
Ara menyampaikan harapannya bahwa meskipun program ini melibatkan rumah yang dijual dengan harga murah, kualitas bangunan dan infrastruktur dasar tidak akan dikorbankan.
“Walaupun rumahnya murah, tapi tidak murahan. Walaupun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tetap kualitas bangunan dan infrastruktur dasarnya harus terjaga dan manusiawi,” ujarnya.
Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah dan sektor swasta, serta kebijakan yang lebih berfokus pada kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah, Menteri Maruarar Sirait menegaskan bahwa program ini akan terus berlanjut dengan prinsip keberpihakan pada rakyat kecil.
Pemerintah berjanji akan terus berusaha agar setiap keluarga Indonesia, khususnya yang berada di bawah garis kemiskinan, dapat memiliki rumah yang layak huni. (GIT)