JAKARTA, LINTAS – Polemik seputar program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kembali mencuat setelah Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, yang akrab disapa Ara, memberikan pandangannya terkait pelaksanaan program tersebut.
Menurut Ara, Tapera seharusnya bersifat sukarela, bukan wajib. Pernyataan ini langsung menambah ketegangan dalam debat yang telah berlangsung lama mengenai keberlanjutan dan dampak kebijakan ini bagi masyarakat Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Ara mengungkapkan bahwa Tapera, yang dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat memiliki rumah, lebih baik jika dijalankan sebagai program sukarela daripada mewajibkan potongan gaji dari pekerja.
Dalam pandangannya, Tapera harusnya menjadi tabungan yang dapat dipilih oleh masyarakat secara bebas, bukan suatu kewajiban yang terasa membebani.
“Kalau soal Tapera, ya, saya sampaikan apa adanya. Kalau menurut saya, Tapera adalah tabungan sukarela. Kalau kewajiban ya lain. Itu pendapat saya dan saya rasa pendapat mayoritas rakyat Indonesia seperti itu,” ujar Ara saat ditemui di Stasiun Manggarai, Jakarta pada 27 November 2024.
Pernyataan Ara ini berangkat dari kebijakan pemerintah yang telah mengatur potongan gaji pekerja sebesar 3% untuk iuran Tapera. Potongan ini berlaku untuk seluruh lapisan pekerja, mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, hingga pekerja swasta dan freelancer, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang diterbitkan pada 20 Mei 2024.
Menurut Ara, kebijakan wajib ini terasa terlalu memberatkan, terutama bagi masyarakat yang kondisinya masih sulit atau belum siap untuk menabung dengan cara tersebut.
Iuran Wajib Tapera
Penetapan iuran Tapera sebesar 3% tentu mengundang perdebatan. Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa dana yang terkumpul dari iuran wajib tersebut akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pemenuhan target pembangunan tiga juta unit rumah dalam program sejuta rumah.
Di sisi lain, para pengkritik, termasuk Ara, menganggap bahwa sistem wajib ini berpotensi menambah beban masyarakat, khususnya bagi mereka yang memiliki penghasilan terbatas.
Keberatan terhadap program ini sering kali datang dari kalangan pekerja dengan penghasilan rendah, yang merasa bahwa potongan gaji ini akan semakin memperberat kehidupan sehari-hari mereka.
Selain itu, ada pula kekhawatiran tentang transparansi dalam pengelolaan dana Tapera, yang tidak selalu mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat.
Penyesuaian Aturan
Ara juga menyarankan agar BP Tapera, sebagai badan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program ini, memikirkan kembali kebijakan yang lebih menarik bagi masyarakat.
Ara menekankan perlunya upaya agar masyarakat mau berpartisipasi tanpa adanya paksaan. Ia mengusulkan agar BP Tapera mencari cara agar masyarakat merasa lebih termotivasi untuk menyisihkan dana mereka untuk tabungan perumahan secara sukarela.
“Saya juga ingin BP Tapera merumuskan kebijakan lain yang dapat menarik masyarakat untuk mau menabung dengan sukarela, bukan dengan paksaan,” tambah Ara.
Di sisi lain, jika kebijakan Tapera harus tetap berjalan dengan skema wajib, Ara meminta agar pemerintah mempertimbangkan adanya perubahan dalam aturan untuk mempermudah akses masyarakat terhadap rumah dengan harga yang lebih terjangkau.
Program tiga juta rumah yang digadang-gadang pemerintah harus tetap menjadi prioritas, namun harus diimbangi dengan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat.
Penataan Kebijakan
Sebagai bagian dari upaya penataan kebijakan Tapera, pemerintah berencana untuk menata ulang struktur Komite Tapera. Dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada Presiden Prabowo, Menteri Ara diusulkan untuk duduk dalam komite tersebut, menggantikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang selama ini memimpin.
Perubahan ini dianggap penting agar kebijakan Tapera bisa lebih berpihak pada kebutuhan masyarakat luas, bukan sekadar memenuhi target pembangunan.
“Komite itu nanti menurunkan arah pembicaraan dan sebagainya,” ujar Iwan Suprijanto, Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PKP, yang mendukung penataan ulang tersebut.
Diharapkan, dengan perubahan ini, kebijakan Tapera bisa lebih transparan dan lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Dalam perspektif jangka panjang, kebijakan Tapera akan terus menjadi bahan evaluasi. Ada yang menganggap bahwa potongan gaji wajib ini dapat memberikan dampak positif dalam jangka panjang, seperti peningkatan daya beli masyarakat terhadap rumah.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kebijakan ini terlalu terburu-buru dan berisiko menambah beban ekonomi masyarakat.
Ke depan, kebijakan Tapera diharapkan dapat diperbaiki untuk lebih inklusif, dengan mempertimbangkan aspek kemampuan dan kesiapan masyarakat. Konsep sukarela bisa jadi alternatif untuk meringankan beban rakyat, namun tetap memperhatikan target pemerintah dalam membangun hunian yang terjangkau.
Kesimpulannya, program Tapera perlu dievaluasi secara komprehensif untuk menyeimbangkan antara tujuan pembangunan perumahan yang ambisius dengan kebutuhan riil masyarakat.
Masyarakat harus diberikan pilihan yang adil, agar mereka merasa lebih dihargai dan tidak terbebani oleh kebijakan yang terlalu memaksakan. (GIT)