Home Berita Zero ODOL Tak Bisa Ditawar: Saatnya Pemerintah Bertindak Tegas Atasi Truk Kelebihan Muatan

Zero ODOL Tak Bisa Ditawar: Saatnya Pemerintah Bertindak Tegas Atasi Truk Kelebihan Muatan

Share

JAKARTA, LINTAS – Pemerintah didesak untuk segera mengambil tindakan tegas dalam mengatasi maraknya truk over dimension and overload (ODOL) yang selama ini menjadi biang kerok kecelakaan lalu lintas, kerusakan jalan, serta rendahnya daya saing logistik nasional.

Truk ODOL telah lama menjadi ancaman nyata di jalan raya, dan pembiaran terhadap praktik ini dinilai mencerminkan lemahnya tata kelola transportasi barang di Indonesia.

Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan truk ODOL terus berulang, seperti yang terjadi di Ciawi (5/2/2025), Purworejo (7/5/2025), dan Semarang (9/5/2025), menimbulkan kerugian material serta korban jiwa.

“Sesungguhnya, setiap hari terjadi kecelakaan angkutan barang. Sebelum ada jalan tol, truk kerap menabrak kendaraan atau benda di pinggir jalan. Setelah ada tol, banyak truk justru ditabrak dari belakang. Ini seperti tabrak depan-belakang di jalan tol,” ungkap Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat.

Dampak Perang Tarif dan Lemahnya Regulasi

Ia menjelaskan, salah satu pemicu merebaknya truk ODOL adalah perang tarif di sektor angkutan barang, yang makin tak terkendali sejak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 184 UU tersebut menyatakan bahwa tarif angkutan barang ditentukan oleh kesepakatan antara penyedia jasa dan pengguna jasa. Tidak adanya tarif batas bawah dan atas membuat pengusaha angkutan menekan biaya semaksimal mungkin untuk mendapatkan tender, yang berujung pada penggunaan truk bermuatan dan berdimensi berlebih.

“Perang tarif ini sangat merusak. Akibatnya, pengusaha truk dipaksa mengangkut lebih banyak barang, melebihi kapasitas kendaraan, hanya demi bertahan di bisnis,” jelas Djoko.

Desakan publik dan tragedi di jalanan akhirnya menggugah perhatian pemangku kepentingan. Pada 6 Februari 2024, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) atas permintaan Presiden Prabowo Subianto, mengundang 11 instansi dan organisasi terkait untuk membahas langkah konkret mengatasi ODOL.

Organisasi seperti MTI, Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT), Instran, ITS Indonesia, hingga Korlantas Polri turut hadir bersama kementerian dan BUMN terkait.

Menindaklanjuti pertemuan itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi akhirnya menyepakati penerapan kebijakan zero ODOL, seperti dilaporkan Kompas.id (25/2/2025).

Target implementasi penuh ditetapkan pada tahun 2026, dengan dukungan dari Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Pemerintah juga akan merumuskan regulasi dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Penguatan Logistik Nasional, yang memuat insentif bagi pelaku usaha untuk beralih ke sistem logistik yang patuh regulasi (Kompas.id, 6/5/2025).

Jangan Hanya Fokus di Jalan Raya

Djoko yang juga Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata menegaskan, angkutan barang tidak semestinya didominasi oleh moda jalan raya.

Indonesia memiliki jaringan rel kereta api sepanjang 4.573 km di Pulau Jawa, terdiri dari single track (26,9%), double track (71,8%), dan double-double track (1,3%). Selain itu, jalur laut dan sungai seharusnya bisa dioptimalkan untuk logistik antar pulau.

Sayangnya, moda non-darat justru terbebani regulasi dan biaya tinggi. Angkutan barang via kereta api dikenakan PPN 11%, BBM nonsubsidi, dan track access charge (TAC), sedangkan angkutan jalan menikmati BBM subsidi, tidak kena PPN, dan bisa menggunakan jalan arteri tanpa biaya.

“Ini tidak adil. Seharusnya ada keberpihakan regulasi untuk moda yang lebih aman dan efisien. Jalan raya seharusnya untuk angkutan jarak pendek saja, maksimal 500 km,” kata Djoko.

Menurut data Bappenas (2023), biaya logistik Indonesia mencapai 14,29% dari PDB pada tahun 2022, dengan biaya transportasi sebesar 8,79%. Sementara itu, Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada 2023 hanya 3,0, kalah dari negara ASEAN lain seperti Singapura (4,3), Malaysia (3,6), dan Vietnam (3,3).

Djoko juga menekankan perlunya roadmap zero ODOL jangka pendek, menengah, dan panjang.

Roadmap itu harus memuat program, indikator, dan penanggung jawab dari setiap kementerian dan lembaga. Mulai dari proyek pemerintah, baru ke sektor swasta,” jelasnya.

Upaya lain yang harus dilakukan meliputi:

  • Pemberantasan pungli dalam angkutan logistik.
  • Standarisasi upah pengemudi.
  • Peningkatan tunjangan petugas penguji kendaraan bermotor.
  • Pemanfaatan teknologi untuk pengawasan.
  • Pemberian insentif dan disinsentif.

“Pungli di angkutan barang Indonesia masih merajalela. Mulai dari yang berseragam sampai yang tidak pakai baju pun ikut memalak. Ini harus dihentikan,” tegas Djoko.

Baca Juga: Jawa Barat dan Riau Bakal Jadi Pilot Project Zero ODOL, Pemerintah Siapkan Langkah Tegas

Lebih lanjut, ia mendorong Kementerian Perhubungan untuk mendirikan sekolah khusus bagi pengemudi bus dan truk, seperti halnya sekolah pilot, masinis, dan nakhoda yang sudah ada.

“Zero ODOL bukan hanya soal teknis kendaraan, ini soal keberanian politik, keadilan regulasi, dan keselamatan rakyat. Sudah waktunya kita serius,” kata Djoko. (*/CHI)

Oleh:

Share

1 comment

Paul 13/05/2025 - 13:18

Semoga ODOL ini dapat terlaksana ya th 2026, krn muatan bertambah tanpa kendali, satu pihak dana terbatas pemeliharaan jalan berkurang dan disain jalan masih MST 8 ton

Reply

Leave a Comment

Majalah Lintas Official Logo
Majalahlintas.com adalah media online yang menyediakan informasi tepercaya seputar dunia infrastruktur, transportasi, dan berita aktual lainnya, diterbitkan oleh PT Lintas Media Infrastruktur.

Copyright © 2025, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.