Sumber informasi tepercaya seputar infrastruktur,
transportasi, dan berita aktual lainnya.
13 February 2025
Home Opini Tangani Kemacetan, Bali Bangun LRT 

Tangani Kemacetan, Bali Bangun LRT 

Picture of  Moch S Hendrowijono

Moch S Hendrowijono

Wartawan Senior; Pengamat Telekomunikasi dan Transportasi

Share

Kenyamanan masyarakat dan wisatawan di Bali, utamanya di sekitaran Kuta, Renon, Sunset Road, Legian, Canggu, dan Sanur makin berkurang akibat kepadatan lalu lintas sejak beberapa tahun terakhir. Bali akan makin dipadati wisatawan, yang sepanjang tahun 2019 baru 17 juta orang–5,2 juta saat ini turis asing–diprediksi akan menjadi 24 juta, pada 2026. 

Solusi rekayasa lalu lintas yang diupayakan tidak mempan lagi mengurangi kemacetan. Niat membangun transportasi massal berbasis rel yang efisien dan andal di “Pulau Dewata” sejatinya sudah lama dilakukan.   

Transportasi massal berbasis rel, baik itu MRT (mass rapid transit), KRL (kereta rel listrik) maupun LRT (lite rail transit–lintas raya terpadu) bisa mengurangi kepadatan lalu lintas. Moda transportasi ini memindahkan kebiasaan manusia menggunakan kendaraan pribadi  atau alat angkut jalan ke kereta sehingga mengurangi kepadatan. 

Sejak Rabu (4/9/2024), Bali memulai era pembangunan LRT untuk kawasan padatnya, dengan groundbreaking di Sentral Parkir Kuta yang dilanjutkan pembangunan jalur tahap I. LRT  Bali dirancang dibangun dalam empat tahap, dua tahap pertama sudah selesai pembuatan studi kelaikannya (feasibility study/FS) sementara dua tahap terakhir sedang dalam tahap penggarapan. 

LRT Jabodebek berhenti di Stasiun Harjamukti Cibubur. | MajalahLintas/Edwan Ruriansyah
LRT Jabodebek berhenti di Stasiun Harjamukti Cibubur. | MajalahLintas/Edwan Ruriansyah

Jaringan LRT akan membentang dari Bandara I Gusti Ngurah Rai hingga ke Mengwi dan tahap I baru akan tersambung dari bandara ke Kuta. Tahap-tahap bentangan jalur LRT berikutnya akan melebar sampai Ubud, kawasan elite Renon, Cemagi, Jimbaran, Nusadua.  

Jalur tahap I LRT Bali yang sepanjang 16 kilometer akan dibangun sedalam 30 meter di bawah tanah. Biayanya memang sangat mahal, tetapi dibangun di permukaan jadinya lebih mahal karena banyak masalah. Pembebasan lahan yang rumit dan bertele-tele, terutama karena wilayahnya padat dan nyaris tidak ada lahan kosong.  

Ada juga aturan Pemda Bali yang menghalangi, tidak boleh ada bangunan lebih tinggi daripada pohon kelapa. Aturan ini membuat tidak mungkin membangun jalur layang LRT, seperti LRT Jabodebek (Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi) atau LRT Palembang. 

Lebih mahal 

Biaya pembangunan rel di bawah tanah jauh lebih mahal dibanding membangun dengan cara layang, atau di permukaan tanah yang “hanya” Rp 400 miliar/kilometer. Paketnya  termasuk stasiun, sistem kelistrikan, persinyalan, dan sebagainya.  

Rel layang seperti LRT Jabodebek (Jakarta–Bogor–Depok–Bekasi) biayanya sekitar Rp 800 miliar/km. Jalur layang ini membentang dari stasiun Dukuh Atas ke lintas Cibubur dan lintas Bekasi sepanjang 41,2 kilometer, biayanya sebesar Rp 32,5 triliun membengkak Rp 2,6 triliun dari semula Rp 29,9 triliun.  

Mahalnya biaya untuk jalur LRT Bali sepanjang 60-an kilometer bisa dipahami, meski sebenarnya bisa dibuat lebih murah dibandingkan dengan proyek MRT Lebak Bulus–Bunderan HI (Hotel Indonesia). Mesin bor (tunnel boring machine/TBM) MRT Jakarta hanya dua buah lebar galiannya 6,4 meter, untuk TBM LRT Bali akan ada 10 buah, membangun terowongan dengan radius 7,2 meter. 

Biaya pembangunan MRT Jakarta sebagiannya berupa jalur bawah tanah, sebesar Rp 1,1 triliun/kilometer sepanjang 16 kilometer. Sementara pembangunan tahap II dari Bunderan HI ke Ancol Barat yang sedang berlangsung saat ini sepanjang 11,8 kilometer, biayanya membengkak jadi Rp 2,3 triliun/km. 

Menurut Direktur PT Sarana Bali Dwipa Jaya (SBDJ) pemilik proyek LRT, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Askhara, mantan Dirut Garuda Indonesia), pembangunan rel LRT Tahap 1 mahal dan berat. Di jalur Kuta, Seminyak, Canggu dan Cemagi ini tanahnya keras berbatu. 

Di jalur itu kemampuan TBM mengebor hanya sepanjang 3 meter/hari. Tetapi di jalur tanah kapur, seperti di Nusa Dua, pengeboran bisa tembus 30 meter/hari. 

Whoosh 

SBDJ sudah menetapkan PT Indotek sebagai kontraktor utama bersama CRCC (China Railway Construction Corporation) yang juga pernah menyelesaikan pembangunan KCIC (Kereta Cepat Indonesia-China), Jakarta ke bandung, Whoosh. Ada  lagi kontraktor lokal, PT Sinar Bali.  

Bali urban subway ini, pada tahap satu membentang dari Bandara ke Kuta lalu Seminyak, Berawa dan Cemagi sepanjang  16 km. Tahap II membentang 13,5 km dari Bandara I Gusti Ngurah Rai ke Jimbaran, Universitas Udayana (Unud) dan Nusa Dua.  

Tahap III dirancang nantinya dari Sentra Parkir Kuta ke Sesetan, Renon dan Sanur, tahap IV dari Renon ke Sukawati dan Ubud. Pembangunan tahap I dimulai tahun ini dan akan dioperasikan pada tahun 2028, tahap II dimulai 2028 

Biaya modal tahap I dan II sebesar 10,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 166 triliun) yang kalau ditambahkan dengan tahap III dan IV biayanya menjadi 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 300 triliun). Angka ini jauh lebih mahal dibanding pembangunan LRT maupun MRT di Jakarta. 

Kebutuhan lahan operasional LRT sebenarnya tidak selebar MRT yang secara kapasitas, daya angkut dan kecepatannya beda. Namanya juga kereta ringan (lite rail) yang bentuknya lebih langsing dengan kapasitas dan kecepatan yang lebih rendah dibanding MRT.  

Kapasitas dan kecepatan MRT mencapai 1.950 penumpang dan 100 km/jam. Sementara LRT Jabodebek atau LRT Jakarta (Velodrome–Manggarai) hanya 600 orang, berkecepatan sekitar 50 km/jam.

Baca Juga: LRT Jabodebek Terapkan Pola Perjalanan Weekday Saat Misa Akbar Paus Fransiskus

Oleh:

Share

Leave a Comment

Majalah Lintas Official Logo
Majalahlintas.com adalah media online yang menyediakan informasi tepercaya seputar dunia infrastruktur, transportasi, dan berita aktual lainnya, diterbitkan oleh PT Lintas Media Infrastruktur.
Copyright © 2023, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.