Jakarta, Lintas – Perjalanan karirnya terlihat seperti anomali jika dibandingkan dengan perjalan karir kebanyakan orang. Namun, hal ini justru dianggapnya sebagai persiapan untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar di penugasan berikutnya. DR.Ir.Herry Trisaputra Zuna,SE,MT Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, sebelumnya bercita-cita ingin menjadi pegawai PU. Namun, selepas kuliah justru malah bekerja di sebuah perusahaan konsultasi dengan gaji yang lumayan besar.
“Sebagai Traffic Engineer dahulu saya bertugas menyusun desain jalan tol Surabaya – Mojokerto. Alhamdulillah waktu itu gaji saya sudah Rp 1,5 juta. Luar biasa rasanya, baru lulus sudah mendapat gaji lumayan gede, dan belum nikah. Kalau sekedar untuk jajan rasanya enggak bakal habis-habis. Pada saat yang bersamaan saya mendapat tawaran magang di Direktorat Bina Jalan Kota PU, dengan gaji Rp 150 ribu. Ini merupakan sesuatu yang berat sekali. Jadi, selesai wawancara saya pamit dan mohon maaf kayaknya belum bisa ikut bergabung, karena masih banyak beban yang harus saya tanggung,” kenang Herry membuka wawancara dengan Lintas beberapa waktu lalu.
Namun, setelah menolak tawaran tersebut, Herry justru semakin kepikiran.
“Akhirnya, dengan malu-malu saya kembali menghadap (Alm) Pak Arif Wicaksono . Saya mohon kalau masih diberi saya ingin dapat bergabung dengan PU. Ternyata masih diberi kesempatan, alhamdulillah. Itu cerita awalnya saya bergabung di Kementerian PU.”
Herry Trisaputra Zuna mengawali karirnya di Kementerian PU di Direktorat Bina Jalan Kota. Menurutnya, ia mendapatkan kesempatan untuk belajar banyak hal di sini.
“Waktu itu ada Strategic Urban Road Infrastructure Project (SURIP). Saya sempat keliling di Pulau Jawa untuk belajar melaksanakan survey jalan bypass, quality life improvement, bagaimana mengubah jalan kota yang awalnya untuk kendaraan menerus menjadi jalan kota,jalan bypass-nya dibawa menuju ke luar. Jadi saya banyak belajar hal di situ, di bawah bimbingan pak Arif Wicaksono dan pak Marianto, selaku Kasubdit saya.”
Herry juga mendapat kesempatan belajar ke Inggris terkait dengan proyek Jembatan Cikapayang. Kesempatan ini benar-benar ia manfaatkan untuk belajar.
“Kebetulan di kantor tersebut ada perpustakaan, sangat menarik, dan saya gali betul. Di sana, selain belajar jembatan, saya justru banyak belajar tentang KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha). Ketika kembali ke tanah air, saya banyak belajar tentang ini.”
Meskipun secara struktural ia bekerja di bagian perencanaan teknis Direktorat jalan kota, namun Herry memaparkan, bahwa ia juga sering berkecimpung di Subdit Jalan Tol.
“Sebagian waktu saya dahulu banyak ditugasi sebagai asrot (asisten sorot). Nah di sini saya justru banyak belajar hal-hal yang di luar. Karena seringnya menyiapkan bahan rapat untuk Bpk Dirjen Bina Marga, dengan sendirinya materi yang harus disiapkan jadi naik kelas ya,” terang Herry mengenai awal keterlibatannya di bidang Jalan Tol sebelum ia bertugas di Subdit Jalan Tol.
Pindah tugas ke BPJT
Setelah menjadi Kepala Subdit Jalan Tol, Herry mendapat kesempatan untuk pindah tugas sebagai Kepala Divisi Investasi di Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Perpindahan ini dianggapnya di luar dari kebiasaan perjalanan karir pegawai Ditjen Bina Marga.
“Kalau melihat tren, biasanya masuk ke BPJT dahulu, baru pindah ke Ditjen Bina Marga. Saya agak anomali, sudah menjadi Kasubdit, relatif senior waktu itu, namun malah dipindah menjadi Kepala Divisi Investasi. Sama-sama di eselon 3, hanya tren waktu itu terjadi anomali.”
Meskipun demikian, Herry melihat bahwa di setiap penugasan pasti ada kesempatan yang bisa dieksplorasi. Maka ia menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia mulai dengan melihat perspektif kedepan Cikopo – Palimanan.
“Proyek ini awalnya berjalan ditempat saja. Dengan mengucap alhamdulillah berkat ketekunan, t proyek tersebut bisa terlaksana. Memang ada hal yang harus digarap lebih serius agar proyek itu bisa terlaksana waktu itu, mulai dari pembiayaannya, lalu kita perkuat dengan three parties agreement. Alhamdulillah dengan cara-cara ini, akhirnya menjadi tol terpanjang di Pulau Jawa pada waktu itu, yaitu 116 km,” kenang Herry.
Kembali Berdinas di Ditjen Bina Marga
Dari BPJT, Herry dipindah tugas kembali ke Subdit Jalan Tol di Kementerian PU. Di sini, ia merintis penugasan kepada PT. Hutama Karya.
“Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 80 pada waktu itu memberikan mandat sepenuhnya kepada Jasa Marga sebagai BUMN pengembang jalan tol. Ketika tahun 2004, berubah menjadi Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 , dimana peran Jasa Marga dipisah. Sebagai regulator dilaksanakan oleh BPJT,” urai Herry.
Herry kemudian melanjutkan, “Kalau menurut UU, mindset-nya adalah semua jalan tol itu layak, walaupun secara tipologi dibagi menjadi 3. Ada layak finansial yaitu layak ekonomi, ada yang marjinal, dan ada tidak layak. Jadi ada perbedaan secara regulasi. UU Jalan Nomor 38 tahun 2004 memungkinkan kita untuk membangun jalan tol di tempat yang belum layak.”
“Kalau dahulu di UU No. 13 tahun 1980, Jasa Marga selaku BUMN jalan tol, berdasarkan instruksi pemerintah untuk membangun di ruas-ruas tertentu, di mana ada yang layak dan ada juga yang tidak layak. Ketika pindah ke UU baru, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) akan cenderung membangun jalan tol sesuai dengan kelayakan, yang mampu mengembalikan investasinya. Pertanyaannya, bagaimana dengan ketidak layakan tadi? Tugas pemerintah lah untuk memberikan dukungan, atau membangun dengan effort-nya pemerintah, baru nanti dioperasikan oleh pihak swasta.”
Akan tetapi, Herry melihat apabila skema tersebut diaplikasikan di jalan tol Lintas Sumatera, akan mengakibatkan ketergantungan yang sangat besar kepada pemerintah, karena jalan tol Sumatera pasti tidak layak secara finansial.
“Kita harusnya punya pilihan yang lain. Harusnya ada kemudahan yang dimiliki oleh BUJT, dimana BUJT mempunyai kemampuan untuk me-leverage. Dibandingkan pemerintah, kalau pemerintah ibaratnya diberi 100, akan menjadi 100. Tetapi, kalau BUJT, dia diberi 100, nanti ada yang bisa dibiayai dengan pinjaman. Paling tidak dalam 2 kali, 50-50. Atau, kalau proyeknya layak bisa 4 kalinya. Jadi uang 25 bisa jadi 100.”
Ide ini kemudian ditindak lanjuti Herry bersama berbagai pihak, termasuk Menteri BUMN (waktu itu) Dahlan Iskan, hingga menjadi PP dan Perpres. Namun, karena dinamikanya maka belum bisa dimanfaatkan pada waktu itu.
“Nah, dalam proses tersebut saya pindah tugas sebagai Kasubdit Perencanaan Umum. Di sini saya bisa merintis persiapan untuk jalan tol Sumatera tadi. Jadi di posisi saya sebelumnya adalah menyiapkan Perpres, ketika Perpres-nya sudah jadi, saya dipindahkan dan saya juga yang akhirnya melaksanakan Perpres tadi. Saya melihat proses yang saya lalui ini sebagai upaya persiapan,” ujarnya.
Salah satu tugas Herry saat itu adalah mendiskusikan dengan pihak konsultan terkait untuk target pembangunan jalan tol 1.000 km.
“Konsultan-konsultan asing ini datang ke ruangan saya hanya untuk memberitahu bahwa target 1.000 km itu terlalu banyak, karena kapasitas Indonesia tidak sebanyak itu. Waktu itu saya jawab simpel saja, yang pertama saya bilang, kok target saja dikurangi? Yang kedua, dulu zaman kuliah, target saya pasti dapat nilai A, tidak mungkin target saya hanya di C, nanti tidak akan tercapai. Intinya saya sampaikan, supaya target kita tetap 1.000 km.”
Namun, tidak lama kemudian, di tahun 2015, Herry kembali ditugaskan ke BPJT sebagai Plt. Kepala BPJT.
“Ketika pindah tugas lagi ke BPJT, saya kena tulah sendiri. Kalau targetnya hanya 500 km kan lebih ringan,” kelakar Herry.
Setiap Penugasan Adalah Persiapan
Karena Herry melihat bahwa setiap penugasannya merupakan langkah persiapan untuk jenjang berikutnya, Herry dapat berinovasi dengan baik karena ia paham betul permasalahan yang terjadi.
“Pengetahuan-pengetahuan dari posisi sebelumnya saya coba akumulasikan, saya letakan di kertas dan saya mapping-kan problemnya seperti apa dan bagaimana kita menyelesaikan target-target besar tadi,” jelasnya.
Selama menjadi Kepala BPJT, Ia telah berhasil mempercepat proses pelelangan. Ia juga merumuskan konsep dana talangan untuk mempercepat pembangunan jalan tol, pembayaran aunitas dan masih banyak lagi inovasi-inovasi lain yang digagasnya.
Ketika ditanya kiatnya sehingga dapat banyak berinovasi, Herry mengutarakan, “Mungkin yang paling banyak berkontribusi adalah keinginan untuk mencari dan mencoba, sehingga muncullah inovasi. Kemudian dengan inovasi tadi, bagaimana agar bisa kita implementasikan dan kita percepat perwujudannya. Jadi tinggal cycle itu saja.”
Berkat berbagai inovasinya, dalam kurun waktu 4 tahun, pembangunan jalan tol telah dilakukan di 50 ruas, yang sebelumnya hanya 2 ruas saja. Dan nilainya mencapai Rp 500 triliun. Target pun, yang tadinya 1.000 km dianggap terlalu besar, justru dapat tercapai kurang lebih 1.800 km.
Belum berhenti di sana, saat ini pun di posisinya sebagai Dirjen Pembiayaan Infrastruktur, telah banyak ide-ide yang tengah digodoknya agar konsep KPBU dapat di-leverage di tingkat Kementerian PUPR, seperti di proyek-proyek Ditjen Perumahan dan Ditjen Cipta Karya.
Kepada para generasi milenial, Herry Trisaputra Zuna berpesan agar jangan merasa tabu untuk mencoba, dan ketika bertemu dengan masalah, selalu berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk menjawab masalah tersebut. (LA)
Baca juga: Rachman Arief Dienaputra, Sarjana Teknik Geodesi Pelopor Peta Digital