Jalan seperti apa yang harus dibangun ketika suatu saat nanti, tanah yang menopangnya mungkin bergerak sekian jauh. Apakah membangun jalan yang kuasa bergeming menahan lapisan tanah yang hendak bergeser? Ataukah merancang jalan yang bisa menyalurkan sebagian energi si tanah? Sehingga kalaupun jalan diajak bergeser, gerakan tanah itu ditenagai oleh energi yang sudah lemah.
Likuefaksi terjadi di sejumlah lokasi di Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Fenomena kekuatan alam itu menyusul setelah gempa bumi 7,4 Magnitudo mengguncang.
Penjelasan likuefaksi secara sederhana seperti berikut. Ambillah sebuah buku, letakkan dimeja. Maka, itulah petak permukaan tanah dengan lapisannya di dalam permukaan (tebal buku). Lalu, letakkan di atasnya: pulpen, telepon genggam, uang lembaran, dan koin. Itulah rumah, mobil, jalan, dan tiang listrik.
Kemudian, geserlah buku yang “sudah diduduki” tadi ke ujung meja. Itulah likuefaksi: petak tanah yang luas meluncur utuh membawa apa saja yang ditopangnya. Di ujung perjalanan, semua bisa ambruk, masuk ditelan bumi.
Membangun kembali jalan di atas areal bekas likuefaksi atau berpotensi likuefaksi itu menjadi salah satu tugas yang harus dirampungkan Satuan Tugas Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Sulawesi Tengah, Kementerian PUPR. Alternatif pertama, yang diajukan dan dapat didanai Bank Dunia, diputuskan oleh Satgas terlalu mahal.
Biayanya lebih dari Rp 100 miliar, ujar Kepala Satgas tersebut, Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc. Ongkos seperti itu jauh melebihi standar jalan apapun di Indonesia.
Memahami “nalodo”
Tak ingin tergesa-gesa mengambil keputusan, Satgas mengalihkan fokus untuk menggali fenomena dan sifat likuifaksi itu sendiri. Diskusi intens dengan berbagai pihak pun berlangsung untuk mengenali likuefaksi yang dalam bahasa kaili, bahasa suku asli Palu, dinamakan nalodo.
Para pakar berbagai bidang terkait pun datang ke Palu. Bersama Satgas, mereka berdiskusi intens untuk memahami nalodo. Dari sekian banyak diskusi dan kajian, mereka semua belum juga bersepakat tentang, apa sesungguhnya yang menyebabkan kekuatan alam tersebut.
Namun dari semua tempat kejadian, mereka menemukan kesamaan. Pertama, kepadatan tanah di bawah permukaan, rendah. Kepadatan tanah tersebut merupakan sebuah parameter yang menunjukkan daya dukung tanah.
“Di beberapa tempat, N-SPT-nya malah di bawah 10,” ujar Arie. N-SPT atau nilai standard penetration test adalah ukuran untuk menentukan kepadatan tanah yang diperoleh dengan melakukan pengeboran.
Kedua, selalu ditemukan lapisan tanah yang relatif kedap di bagian atas. Ketiga, daerah-daerah tersebut memiliki muka air-tanah yang tinggi, relatif dekat dengan permukaan. Berdasarkan temuan-temuan itu, Satgas memiliki gambaran yang lebih utuh tentang likuefaksi.
Mirip “aquaplanning”
Gambarannya seperti ini, gempa yang besar akan mengguncang-guncang lapisan tanah di bawah permukaan yang kepadatannya rendah tersebut. Ini seperti kita mengetuk-ketukkan stoples yang baru diisi garam atau gula agar butiran garam atau gula memadat.
Namun karena lapisan tanah berkepadatan rendah itu mengandung air, pemadatan itu pada akhirnya mendesak air-tanah naik. Air yang mengalami kompresi tersebut pada gilirannya mencari “jalan keluar” untuk lepas dari tekanan.
Ketika air tanah tersebut “lari” ke atas, dia terbentur dengan satu lapisan tanah yang cukup kedap. Alih-alih memancur ke luar permukaan bumi, air yang terperangkap dan kian mampat itu mengangkat lapisan tanah kedap di atasnya.
Friksi tanah kedap itu dengan lapisan tanah di bawahnya pun menjadi hilang karena di antara keduanya dipisahkan oleh lapisan air. Yang terjadi kemudian, lapisan tanah permukaan itu meluncur ke wilayah yang lebih rendah.
Arie mengilustrasikan keadaan itu mirip dengan ban mobil yang melintas di jalan yang tergenang air. Terjadilah aquaplanning, ban kehilangan daya cengkeram terhadap permukaan jalan akibat adanya lapisan air di antara permukaan ban dan jalan. “Ada air sedikit, jadi meluncur saja. Ini (likuifaksi-red) sama. Dan ini adalah hal yang baru,” katanya.
Sumur pelepas energi
Berdasarkan pemahaman tersebut, Satgas menerapkan sebuah metode dan teknologi yang berbeda dari yang disyaratkan oleh Bank Dunia. Alih-alih membuat tiang pancang (pile) dalam jumlah yang sangat banyak dan dalam, Satgas memutuskan membuat sumur-sumur di sisi-sisi jalan yang dibangun.
Sumur-sumur tersebutlah yang akan berfungsi sebagai tempat air “melepaskan diri” dari tekanan. Jika daerah yang bepotensi likuifaksi itu mengalami gempa, air tanah yang tertekan tidak akan menjadi lapisan “aquaplanning”.
Pasalnya, air tidak sempat termampatkan karena akan menggelontor masuk mengisi sumur-sumur. Tekanan air pun diharapkan jauh berkurang. “Dan ini tidak ada standarnya di World Bank. Kalau jalan pakai standar World Bank, biayanya di atas Rp 100 miliar. Ini biayanya turun, kayaknya hanya sekitar Rp 15 miliar,” ujar Arie.
Dengan metode itu, Satgas memutuskan tidak menggunakan teknologi yang membuat jalan memiliki konstruksi yang amat kokoh, yang kiranya dapat bertahan dari amuk alam. Sebaliknya, Satgas memilih mencari cara menyalurkan kekuatan alam, likuefaksi—ke sumur-sumur—hingga “energi sang alam” berkurang dengan sendirinya. Bersambung…. (PAH)
Baca juga:
Mengenang Rendra dan Bencana [Alam] (Bagian 1)