Sumber informasi tepercaya seputar infrastruktur,
transportasi, dan berita aktual lainnya.
10 December 2024
Home Fitur Mengenang Rendra dan Bencana [Alam] (Bagian 1)

Mengenang Rendra dan Bencana [Alam] (Bagian 1)

Share

Kata Rendra: ”… kusebut itu sebagai petaka. Kusebut itu sebagai apa saja yang melukiskan kalau itu adalah derita”*. Maka, tatkala bumi bergempa, gunung melontarkan apinya, lalu mengambil semua “milik kita“, kita menyebutnya bencana (alam). Sesungguhnya kita juga bisa menyebutnya: alam sedang mengingatkan agar kita lebih mengenal dirinya.  

Lima setengah tahun lampau, gempa bumi magnitudo 7,4 mengguncang Sulawesi Tengah, tepatnya 28 September 2018. Di pantai, gempa disusul hantaman tsunami setinggi hingga 4 meter.

Di beberapa tempat, bumi berguncang. Dia bersudah hanya untuk berlanjut menjadi peristiwa yang nyaris tak pernah kita dengar namanya: likuefaksi. Petak tanah yang luas meluncur utuh, bergerak sekian jauh jaraknya.

Tanah itu membawa apa saja yang ditopangnya: rumah, mobil, pohon, jalan raya, tiang listrik. Apa pun. Lalu, di ujung perjalanan, semua ambruk… masuk ditelan bumi.

Tatkala alam kembali terdiam. Hening. Begitu banyak hasil karya manusia, terutama di ibu kota Palu dan daerah sekitarnya, menjadi hancur dan rusak parah. Berkilo-kilometer ruas jalan lumat, tujuh jembatan roboh, termasuk jembatan kebanggaan warga: Palu IV yang juga dijuluki Jembatan Kuning.

Jembatan Kuning atau Jembatan Palu IV sebelum dan sesudah tsunami (inset). | Dokumentasi Kementerian PUPR

Ribuan sanak saudara tewas, hilang, luka-luka. Ratusan ribu lainnya yang selamat terpaksa mengungsi.

Sekian waktu berjalan. Jembatan yang runtuh harus dibangun kembali. Jalan yang putus sepatutnya disambung, bangunan lumat ditegakkan. Dengan cara itulah manusia bisa melanjutkan perjalanan hidupnya. Maka, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membentuk Satuan Tugas Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk provinsi yang luluh lantak itu.

Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc, yang belum lama melepaskan jabatan Direktur Jenderal Bina Marga, ditunjuk sebagai Kepala Satgas, ketika itu. Ditemui akhir Januari 2023. Arie  mengenang, timnya (Satgas) tidak langsung begitu saja membangun ulang segala infrastruktur yang hancur dengan yang baru.

Teknologi Biaya Mahal

Berbagai pertimbangan dan alasan melatari keputusan tersebut. Salah satunya adalah berkah tersembunyi dari tawaran yang tak mungkin diterima dari Bank Dunia. Badan keuangan multinasional itu semula akan mendanai rehabilitasi dan rekonstruksi jalan, termasuk di wilayah-wilayah bekas dan berpotensi likuefaksi.

Sebagai penyandang dana, Bank Dunia mensyaratkan, rekonstruksi jalan haruslah menggunakan metode dan teknologi yang mereka sokong. Itu artinya, ruas-ruas jalan di areal bekas dan berpotensi likuefaksi akan dibangun dengan menggunakan banyak tiang pancang (pile) yang puluhan meter dalamnya.

Satgas pun mengkaji untuk menyadari, biaya yang diperlukan untuk membangun jalan dengan teknologi tersebut mahal sekali. Diputuskan, Satgas menampik tawaran Bank Dunia tersebut.

Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc | Majalah Lintas/Catur Surodewo

“Biayanya menjadi di atas Rp 100 miliar. Itu jalan provinsi. Kalau pakai teknologi itu standarnya jadi tinggi sekali, malah lebih dari standar nasional. Akhirnya, kami tidak mau,“ tutur Arie yang kini menjabat sebagai Perekayasa Ahli Utama Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR.

Segenap tim Satgas, dibantu para kolega berbagai disiplin ilmu, pun bertekad. Mereka harus memahami lebih dulu kekuatan alam yang mengguncang Sulteng. Dengan mengenal gempa, tsunami, dan likuefaksi, penyebab, sifat, dan akibatnya, tim meyakini dapat membangun infrastruktur yang tepat.

Infrastruktur seperti itu tidaklah akan menjadi konstruksi yang kokoh bukan kepalang. Dan memang bukan itu yang diinginkan satgas. Manusia tidak akan pernah bisa menandingi kekuatan alam, ujar  Arie. Yang saat itu hendak mereka bangun kembali adalah infrastruktur yang selaras, harmonis dengan kekuatan alam yang berpotensi terjadi di Sulteng.

Dengan prinsip tersebut, di pesisir, jalan yang dibangun tidaklah dirancang untuk kuat menahan tamparan tsunami. Namun, infrastruktur itu cukup bisa menyalurkan energi terbesar dari gelombang raksasa tersebut.

Korban tsunami dan likuefaksi mendapat bantuan dari pemerintah berupa hunian tetap. Pembangunan tahap 1A sebanyak 630 unit di Duyu, Kota Palu dan Pombewe, Kabupaten Sigi. | Dokumentasi Kementeriaan PUPR

Di daerah rawan likuefaksi juga sama. Konstruksi jalan dibangun untuk bisa meneruskan energi alam penyebab fenomena tersebut.

“Jalan tersebut boleh saja rusak. Tapi tidak boleh ada fatalitas. Katakanlah likuefaksi pasti akan menggeser jalan. Namun, jalan itu dapat cepat diperbaiki,“ kata alumnus TU Delf, Belanda, yang pada 2017 menerima penghargaan IHE Delft Alumni Award.

Alam tak bisa ditandingi

Terkait prinsip rekonstruksi infrastruktur di Sulteng itu, Arie mengenang pengalamannya di Jepang. Jepang juga kepulauan yang rawan dan kerap dilanda gempa bumi dan tsunami.

Di satu daerah di sana ujar Arie, masyarakat Jepang punya cara sederhana untuk menghindari kemungkinan banyaknya korban saat terjadi tsunami. Di daerah itu, para pemukanya membangun lumbung-lumbung pangan di perbukitan dekat pantai.

Jika gempa besar mengguncang–dan dikhawatirkan tsunami akan menyusul, lumbung-lumbung itu sengaja dibakar oleh para pemuka. Hal itu akan mendorong warga untuk naik ke perbukitan untuk mematikan api.

Mereka pun menjauhi pesisir dan pantai yang mungkin saja segera diterjang tsunami. Kita bisa menyebutnya sebagai mitigasi. Yang jelas, masyarakat di sana bisa melakukannya karena mereka telah belajar mengenal alam tempat tinggalnya.

Mengingat Rendra: segala yang ada di Bumi, juga semua yang bisa kita miliki hanyalah titipanNya. Namun, semua keputusanNya yang tak sesuai keinginan kita pun adalah titipan*.

Maka, kita belajar dari yang dilakukan Satgas pimpinan Arie. “Titipan” gempa, tsunami, dan likuefaksi itu adalah ajakan kembali mengenal alam. Apa yang kita bangun dan lakukan di atas bumi juga hendaknya selaras dengannya.

Sehingga di suatu saat nanti ketika gempa, likuefaksi, atau kekuatan alam lainnya terjadi, kita tidak harus selalu menyebut: telah terjadi “bencana”. Bersambung (PAH)

* Mengutip dan pemaknaan bebas dari puisi Rendra: “Makna Sebuah Titipan”.

Baca Juga:

Oleh:

Share

Leave a Comment

Foto Pilihan Lainnya

Copyright © 2023, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.