Sumber informasi tepercaya seputar infrastruktur,
transportasi, dan berita aktual lainnya.
11 December 2024
Home Fitur Tsunami Terbentang Jadi Guru (Bagian 3)

Tsunami Terbentang Jadi Guru (Bagian 3)

Share

Di seluruh Indonesia, pesisir adalah nadi kehidupan yang tak mungkin dijauhi, tak bakal ditinggalkan masyarakat. Maka, bagaimana membangun kembali infrastruktur di Teluk Palu, Sulawesi yang sekujur pesisirnya sudah luluh lantak dihantam tsunami, lima setengah tahun lampau?

Pada 28 September 2018, gempa bumi 7,4 Magnitudo mengguncang Sulawesi Tengah. Di pantai, gempa disusul hantaman tsunami setinggi hingga 4 meter. Di beberapa tempat di “pedalaman”, gempa berlanjut dengan likuefaksi.

Ribuan rumah dan bangunan rusak, roboh, hancur. Berkilo-kilometer ruas jalan lumat, tujuh jembatan roboh, termasuk jembatan kebanggaan warga: Palu IV yang juga dijuluki Jembatan Kuning.

Ribuan sanak saudara tewas, hilang, luka-luka. Ratusan ribu lainnya yang selamat terpaksa mengungsi.

Namun, Teluk Palu haruslah dibangun kembali karena masyarakat tetap harus melanjutkan kehidupan mereka. Membangun kembali infrastruktur jalan di pesisir tersebut menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi Satuan Tugas Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Sulawesi Tengah.

Satgas tersebut dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk memulihkan berbagai infrastruktur yang porak poranda. Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc yang baru beberapa bulan melepaskan jabatan Direktur Jenderal Bina Marga ditunjuk sebagai Kepala Satgas.

Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto MSc | Majalah Lintas/Catur Sudewo

Berselaras alam

Arie mengenang, satgas mengedapkan prinsip, pembangunan ulang, rekonstruksi, ataupun rehabilitasi infrastruktur di Sulawesi tengah haruslah berselaras dengan kekuatan alam. Prinsip itu dipegang dengan kesadaran, kecerdasan manusia dan kecanggihan teknologi yang dikuasai tidak akan mungkin dapat menandingi apalagi melawan kekuatan alam.

Oleh karena itu, Satgas lebih dahulu mempelajari berbagai data tentang tsunami di Teluk Palu. Teluk tersebut memang terletak dekat dengan sesar bumi. Gempa kerap terjadi di daerah tersebut. Dari waktu ke waktu, tsunami juga menyambangi.

Dari data yang diperoleh, Satgas menyimpulkan, ketinggian tsunami di Teluk Palu mencapai 4 meter hingga di puncaknya. Satgas pun kian dalam mempelajari dan mengetahui, energi terbesar  yang dimiliki oleh tsunami adalah di bagian bawahnya.

Dengan demikian, tamparan bagian bawah gelombang tsunamilah yang paling berdampak pada apa yang diterjangnya. Bahaya tidaklah berada di puncak gelombangnya.

Jalan “elevated”

Atas gambaran itu, lumrah jika jalanan yang terentang di atas tanah rusak parah saat tsunami menggulung. Maka, Satgas memutuskan membangun ruas-ruas jalan layang (elevated) di pesisir pantai.

Jika tsunami menerjang, kekuatannya yang paling besar akan menghantam kolong-kolong jalan yang kosong. Dengan begitu, lantai jalan relatif hanya terdampak sedikit. Mungkin tidak utuh. Namun, relatif mudah dan cepat diperbaiki.

Selain itu, tembok-tembok laut dibangun sebagai lapisan pertama menghadapi tsunami. Tembok itu tidak akan mampu mencegah tsunami menerjang daratan, tetapi tembok akan meredam energi yang dimiliki oleh tsunami sebelum mencapai daratan.

“Jadi (tembok laut, jalan layang-red) bukan buat melawan tsunami. Terlalu besar effort-nya kalau kita mau melawan. Yang coba kami lakukan adalah kita hidup harmonis dengan alam,” ujar Arie.

Tetap diterapkan

Meski demikian, Arie mengakui, teknologi yang membuat sebuah infrastruktur teramat kokoh sehingga dinilai bakal mampu bertahan dari gempa dan likuefaksi bukan tidak dapat diterapkan di daerah rawan kekuatan alam (natural hazard).

Teknologi seperti itu seperti membangun infrastruktur mengandalkan tiang pancang yang banyak dan amat dalam. Teknologi tersebut didukung Bank Dunia.

Rancang bangun seperti itu, ujar Arie menjelaskan, dapat diterapkan dalam membangun jembatan. Pasalnya, berbeda dari jalan, peluang jembatan untuk hancur total, roboh, akibat kerusakan yang disebabkan gempa dan likuifaksi jauh lebih besar.

“Kalau buat jembatan (teknologi Bank Dunia-red) fine. Jembatan Palu IV kami bikin pondasinya sampai (kedalaman-red) 36 meter agar pondasi dapat mencengkeram kuat lapisan tanah yang padat. Kalau digunakan untuk jalan, mahal sekali,” kata Arie menjelaskan. Bersambung… (PAH)

Oleh:

Share

Leave a Comment

Copyright © 2023, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.