Sumber informasi tepercaya seputar infrastruktur,
transportasi, dan berita aktual lainnya.
14 February 2025
Home Fitur Merindukan Jalan yang Inklusif

Merindukan Jalan yang Inklusif

Share

Oleh: Ki Darmaningtyas
Ketua Instran (Institut Studi Transportasi) di Jakarta

Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau populer dipanggil Jokowi telah berhasil menambah panjang jalan tol. Sampai 2023, panjang jalan tol kita telah mencapai 2.578,02 km, yang mencakup 70 jalan tol dan dikelola oleh 47 Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).

Rencana strategis (Renstra) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) antara 2019-2024 adalah pembangunan 2.500 km jalan tol baru. Sedangkan Presiden Jokowi sendiri memiliki target ambisius bahwa pada akhir 2024 telah memiliki 4.700-5.200 km jalan tol.

Namun, tampaknya target tersebut sulit tercapai karena adanya berbagai kendala. Perkembangan pembangunan jalan tol dalam satu dekade terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi memang terasa amat pesat.

Keberanian mengambil keputusan merupakan kunci keberhasilan pembangunan jalan tol. Sebagai contoh, rencana pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa sudah muncul sejak masa Orde Baru, tetapi sampai 2014 dapat dikatakan stagnan. Bahkan, ruas yang menghubungkan Jakarta-Cirebon saja belum terbangun semua.

Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, pembangunan Jalan Tol TransJawa tuntas pada periode pertama (2014-2019). Pada periode pertama itu juga telah dimulai pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera. Ruas jalan tol Bakaheuni-Palembang tuntas pada 2021.

Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) merupakan salah satu proyek yang digarap oleh PT Hutama Karya (Persero). | Dokumentasi Hutama Karya
Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). | Dok. Hutama Karya

Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera terus berlanjut sampai Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Utara, hingga Aceh. Kehadiran jalan tol ini dapat meningkatkan mobilitas orang dan barang.

Paling tidak, pada saat libur Idul Fitri serta Natal dan Tahun Baru (Nataru) pergerakan mobil pribadi dari arah Jabodetabek menuju Pulau Sumatera meningkat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera. Artinya, kehadiran Jalan Tol Trans-Sumatera berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatera.

Manfaat jalan tol memang tidak diragukan lagi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik pada saat proses pembangunan, dan setelah dioperasikan. Wajar apabila jarang sekali terdengar ada penolakan terhadap rencana pembangunan jalan tol.

Penolakan lebih terkait dengan negosiasi ganti rugi lahan yang akan dilintasi oleh jalan tol saja. Namun secara prinsip, pembangunan jalan tol tersebut selalu dapat diterima oleh masyarakat.

Dampak ekologis pembangunan jalan tol, selain memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal maupun nasional, juga memiliki dampak negatif terutama dilihat dari aspek ekologis (lingkungan), sosial, dan budaya. Ambil contoh, pembangunan Jalan Tol TransJawa yang dibangun di atas lahan
subur untuk pertanian dan cadangan air baku.

Terhubungnya Pulau Jawa dari Merak sampai Banyuwangi dengan jalan tol di satu sisi menimbulkan kegembiraan karena waktu tempuh menjadi pendek dan banyak energi yang dapat dihemat, tetapi juga berdampak buruk secara ekologis karena keberadaan Jalan Tol TransJawa sebagian besar dibangun di atas lahan subur untuk pertanian. Pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa secara otomatis mengurangi lahan subur untuk pertanian dan cadangan air baku.

Bagi pendukung rezim jalan tol, mereka akan melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa lahan yang dipakai untuk membangun jalan tol itu lebarnya kurang dari 50 meter. Memang betul tidak lebar, tetapi kalikan panjangnya akan ketemu luas sawah berapa meter persegi yang terkonversi menjadi jalan tol?

Dan yang tidak pernah disadari adalah program-program ikutannya, seperti rest area, munculnya usaha-usaha baru di sepanjang pinggir jalan tol, atau bahkan industri seperti terjadi di Jawa Tengah. Industri tumbuh karena aksesnya ke jalan tol mudah dan upah buruh kompetitif dibandingkan dengan Jabodetabek, misalnya.

Dampak ekologis lain dari pembangunan jalan tol adalah pemborosan bahan bakar minyak (BBM). Kita semua tahu bahwa kendaraan yang melintas di jalan tol itu adalah kendaraan roda empat ke atas yang konsumsi bahan bakarnya jauh besar sehingga semakin banyak jalan tol dibangun otomatis akan mempercepat pemborosan BBM, menambah polusi udara dan suara yang dapat berdampak pada kesehatan terhadap pengguna jalan tol serta orang-orang yang tinggal di sekitar jalan tol.

Meski dampak ekologis pembangunan jalan tol tersebut memiliki daya rusak besar, jarang dilihat oleh publik maupun pengambil kebijakan. Umumnya hanya melihat sisi positifnya saja Kita tidak sempat membayangkan bila kita tiba-tiba kehilangan sumber cadangan air baku, lumbung pangan nasional, atau mengalami krisis energi nasional.

Jalan Tol Trans Jawa. | Dok. Jasa Marga
Jalan Tol Trans Jawa. | Dok. Jasa Marga

Pembangunan jalan tol juga memiliki dampak sosial yang buruk, yaitu terputusnya relasi komunalitas warga yang dipisahkan oleh keberadaan jalan tol. Dalam kasus pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa misalnya, masyarakat yang semula hidup dalam satu komunitas kampung tiba-tiba mereka dipisahkan oleh jalan tol menjadi sisi utara tol dan sisi selatan tol.

Padahal, di antara yang terpisah itu banyak pula yang memiliki hubungan darah, bukan sekadar hubungan kekerabatan semata. Jarak fisik itu memisahkan jarak sosial karena interaksi sosial antarmereka menjadi sangat jarang dilakukan, kecuali lewat aplikasi WA saja. Ritus-ritus kampung yang dulu mereka selenggarakan bersama, sekarang mereka lakukan sendiri-sendiri.

Keberadaan jalan tol tanpa disadari juga berdampak pada tata nilai (budaya) di masyarakat. Nilai substantif jalan tol itu adalah menawarkan eksklusivitas bagi mereka yang mampu membayar. Sementara masyarakat selama ini memahaminya jalan itu untuk semua (inklusif), tetapi tiba-tiba mereka dihadapkan pada
kenyataan bahwa hanya mereka yang mampu membayar yang boleh lewat jalan tol.

Mereka sendiri, meskipun mampu membayar, tetapi mungkin tidak menggunakan jalan tol karena bukan rutenya. Jadi, mereka setiap saat melihat jalan bagus di sekitar rumah, tetapi tidak pernah memakainya. Inilah yang merupakan ironi bagi mereka.

Memperkuat Jalan Reguler

Kebutuhan masyarakat akan jalan itu adalah kelancaran untuk mobilitas geografis. Bagi masyarakat, tidak terlalu peduli apakah kita perlu memperpanjang jalan tol atau tidak, yang penting mobilitas mereka lancar. Sayang, saat ini ketika berbicara kelancaran lalu lintas, asosiasinya ke jalan tol. Akhirnya, fokus
perhatian pemerintah dalam rangka memperlancar arus barang dan orang adalah membangun jalan tol.

Padahal, kita semua menyadari bahwa membangun jalan tol berarti membangun eksklusivitas jalan. Sementara, yang diperlukan oleh masyarakat adalah jalan yang untuk semua orang (inklusif) tanpa hambatan pada sistem pembayaran.

Dari kepentingan publik dan negara, membangun jalan reguler yang inklusif sebetulnya jauh lebih menguntungkan karena dapat dipakai oleh semua orang tanpa mengalami hambatan apapun. Pembangunan jalan tol tidak terlepas dari proses korporatisasi (pengusahaan oleh swasta) dan prinsip korporatisasi adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Bagi swasta, pembangunan jalan tol tidak semata memberikan akses mobilitas barang dan orang, tetapi lebih penting adalah mencari keuntungan. Prinsip mendapatkan keuntungan itulah yang membuat jalan tol harus eksklusif, hanya bagi mereka yang membayar. Jalan tol tidak dapat inklusif (untuk siapa saja tanpa adanya hambatan sistem pembayaran) karena secara ideologis dibuat untuk eksklusif.

Jalan Tol Solo-Jogja. | Dok. Jasa Marga
Jalan Tol Solo-Jogja. | Dok. Jasa Marga

Bila pemerintah ingin membangun jalan yang inklusif, maka pilihannya adalah memperbanyak jalan reguler, baik itu jalan alteri, jalan kolektor, jalan lokal, atau jalan lingkungan. Dengan mengembangkan jalan reguler, maka warga diuntungkan karena mobilitas orang dan barang lebih leluasa sehingga ekonomi tumbuh dengan dinamis.

Penulis sempat kaget, ketika pada 2022, pimpinan daerah di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengatakan bahwa jalan raya yang dinikmati oleh warga NAD saat itu adalah jalan-jalan yang dibangun oleh Orde Baru. Setelah itu, tidak ada pembangunan jalan baru lagi.

Pernyataan ini secara halus mengingatkan kepada pemerintah agar tidak membangun jalan tol saja. Pemerintahan Jokowi sebetulnya membangun jaringan jalan reguler baru, tetapi itu banyak terjadi di wilayah Kalimantan dan Papua yang dinilai masih tertinggal.

Di Pulau Jawa dan Sumatera yang banyak dibangun adalah jalan tol. Jalan tol memang penting, tetapi jalan reguler jauh lebih penting karena jalan reguler menjadi jalan yang inklusif bagi semua warga.

Baca Juga: Mengintegrasikan Layanan Transportasi di Jabodetabek

Oleh:

Share

Leave a Comment

Majalah Lintas Official Logo
Majalahlintas.com adalah media online yang menyediakan informasi tepercaya seputar dunia infrastruktur, transportasi, dan berita aktual lainnya, diterbitkan oleh PT Lintas Media Infrastruktur.
Copyright © 2023, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.