JAKARTA, LINTAS – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung kembali menggulirkan dua strategi besar untuk mengurai kemacetan ibu kota: kenaikan tarif parkir dan penerapan sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP).
Kedua langkah ini disebut bukan sekadar upaya menaikkan biaya, melainkan sebagai dorongan kuat agar warga Jakarta beralih ke angkutan umum dan mengurangi penggunaan mobil pribadi.
Sistem ERP sendiri bukan hal baru. Sudah lebih dari dua dekade, wacana ini muncul dan tenggelam di meja perencanaan, tanpa pernah benar-benar terealisasi. Padahal, berbagai kota besar dunia seperti Singapura, London, dan Stockholm telah membuktikan efektivitas ERP dalam mengendalikan lalu lintas dan memperbaiki tata kelola transportasi.
“ERP adalah alat paling efektif untuk mengurangi dominasi kendaraan pribadi, karena mampu mendorong perubahan perilaku masyarakat dengan cara yang adil dan transparan,” ujar Muhammad Akbar, pemerhati transportasi, dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025).
Singapura dikenal sebagai kota dengan sistem transportasi publik terbaik di dunia. Namun, kota ini tetap memberlakukan ERP untuk membatasi mobilitas kendaraan pribadi. Hasilnya? Lalu lintas lebih lancar, emisi terkontrol, dan kualitas hidup warga meningkat.
Baca Juga: KMP Jatra II Resmi Layani Sibolga–Gunungsitoli, ASDP Dorong Pemerataan Ekonomi di Nias
Di Jakarta, kebijakan pembatasan seperti 3-in-1 dan ganjil-genap telah dicoba. Namun, keduanya mudah disiasati: dari joki, membeli mobil kedua, hingga memalsukan pelat nomor. Kebijakan tersebut juga tak menghasilkan pendapatan untuk perbaikan transportasi publik.
ERP berbeda. Sistem ini berbasis teknologi yang menghitung tarif secara otomatis dan adil. Siapa yang melintasi jalan sibuk pada jam sibuk, dia yang membayar. Tak bisa dimanipulasi, tak bisa dicurangi.
Tiga Alasan Mengapa ERP Lebih Efektif
- Adil dan Transparan
ERP menerapkan prinsip “user pays”: yang menggunakan jalan, dia yang membayar. Sistemnya otomatis, tanpa campur tangan manusia, sehingga lebih objektif dan tidak rawan penyimpangan.
- Fleksibel dan Memberi Pilihan
Tidak seperti sistem ganjil-genap yang membatasi secara mutlak, ERP tetap memberi kebebasan. Pengendara bisa tetap lewat kapan pun, asalkan bersedia membayar. Ini sistem yang memberi pilihan sekaligus tanggung jawab.
- Menghasilkan Pendapatan untuk Transportasi Publik
Uang dari ERP bisa digunakan untuk memperbaiki layanan transportasi umum, memperluas jaringan angkutan massal, atau menyubsidi tarif agar tetap terjangkau bagi masyarakat.
Jakarta Sudah Siap, Hanya Butuh Keberanian Politik
Secara regulasi, ERP sudah memiliki dasar hukum yang kuat dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Peraturan Pemerintah. Infrastruktur transportasi publik pun sudah berkembang pesat: MRT, LRT, TransJakarta, hingga JakLingko makin terintegrasi.
Dari sisi teknologi, Jakarta juga tidak ketinggalan. Pembayaran nontunai, kamera lalu lintas, dan sensor jalan sudah digunakan dalam sistem monitoring kota. Semua ini merupakan prasyarat penting bagi penerapan ERP.
“Hambatan sebenarnya bukan teknis, melainkan keberanian politik dan kesiapan sosial. Yang diperlukan sekarang adalah keputusan tegas dari pemimpin daerah dan dukungan publik,” tegas Akbar.
Mengapa ERP Ditolak? Ini Kelompok yang Paling Kuat Menolak
- Pemilik mobil pribadi kelas menengah atas: Mereka menganggap ERP sebagai pajak ganda.
- Pengemudi ojek online dan pengusaha logistik kecil: Mereka khawatir beban biaya operasional meningkat.
- -Politisi: Takut kehilangan suara karena ERP dianggap kebijakan tak populer.
Masyarakat umum yang belum paham: Banyak yang mengira ERP akan mempersulit hidup dan hanya jadi cara pemerintah mengeruk uang rakyat.
Padahal, ERP bukan pajak tambahan, melainkan biaya pengelolaan ruang jalan secara adil: semakin padat dan mahal kawasan, semakin besar biaya penggunaannya. Sistem ini dirancang agar mereka yang tetap memilih kenyamanan kendaraan pribadi turut menanggung beban yang ditimbulkannya: kemacetan, polusi, dan ketimpangan ruang.
Saatnya Masyarakat Ikut Mendorong
ERP tak bisa berjalan hanya dengan niat pemerintah. Butuh dukungan aktif dari masyarakat sipil, akademisi, komunitas transportasi, dan media. Semakin lama ditunda, Jakarta semakin tenggelam dalam kemacetan dan polusi yang tak kunjung selesai.
“Jangan hanya jadi penonton. Dorong pemimpin daerah dan DPRD untuk berani mengambil keputusan. Karena kalau tidak sekarang, kita akan terus menyaksikan kota ini lumpuh perlahan,” kata Akbar.
Baca Juga: Jalan dan Jembatan Jadi Prioritas Kementerian PU
ERP bukan sekadar kebijakan bayar atau tidak bayar. Ini soal masa depan Jakarta: apakah kita mau membiarkan kota ini dikendalikan oleh kendaraan pribadi, atau mulai membangun sistem transportasi yang tertib, sehat, dan manusiawi.
Busway TransJakarta dulu juga ditolak, dicibir, bahkan diragukan. Kini? Jadi tulang punggung mobilitas warga. Hal yang sama bisa terjadi dengan ERP—jika kita berani memulainya.
“Perubahan itu selalu ditakutkan di awal. Tapi ketika manfaatnya terasa, semua orang akan bertanya, kenapa tidak dari dulu?” pungkas Akbar. (*/CHI)