Lintas – Sebagian masyarakat boleh saja beralasan membangun ‘polisi tidur’ untuk keamanan. Keberadaan ‘polisi tidur’ dinilai makin mendesak bila di sekitar tempat tinggal masyarakat banyak terdapat anak-anak. Apakah dengan alasan itu masyarakat bebas membangun ‘polisi tidur’? Atau, perlu izin bangun polisi tidur?
Sebenarnya, istilah ‘polisi tidur’ bukanlah kata baku. Namun, banyak masyarakat yang telah paham apa yang dimaksud dengan ‘polisi tidur’.
Arti ‘polisi tidur’
Istilah ‘polisi tidur’ tidak dikenal dalam berbagai produk hukum di Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), misalnya, tidak menyebutkan secara eksplisit istilah ‘polisi tidur’. Dalam UU LLAJ, istilah yang digunakan adalah ‘alat pengendali’.
Sementara itu, istilah ‘pengaman pengguna jalan’ atau ‘alat pembatas kecepatan’ digunakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2013. Beberapa peraturan daerah juga lebih sering menggunakan istilah ‘tanggul jalan’ atau ‘tanggul pengaman jalan’.
Namun, arti ‘polisi tidur’ ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Berdasarkan KBBI, ‘polisi tidur’ bermakna ‘bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan’.
Perangkat hukum yang mengatur pembangunan ‘polisi tidur’
Pada dasarnya, pembangunan atau pembuatan ‘polisi tidur’ tidak boleh dilakukan secara sembarangan alias tanpa izin. Pembangunan ‘polisi tidur’ atau alat pembatas kecepatan sudah diatur dalam berbagai produk hukum.
Salah satunya ialah Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia (Permenhub) Nomor PM 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permenhub Nomor PM 82 Tahun 2018 tentang Alat Pengendali dan Pengamanan Pengguna Jalan. Beleid itu menyinggung soal izin mem bangun ‘polisi tidur’ dari pihak berwenang. Pihak-pihak yang berwenang memberi izin pembangunan ‘polisi tidur’ antara lain:
- Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Darat untuk jalan nasional
- Gubernur untuk jalan provinsi
- Bupati untuk jalan kabupaten dan desa
- Walikota untuk jalan kota
- Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk jalan tol setelah mendapatkan penetapan dari Dirjen Perhubungan Darat.
Regulasi-regulasi di atas bertujuan mencegah orang berlomba-lomba membuat alat pengendali atau ‘polisi tidur’ sesuai selera masing-masing. Satu hal yang perlu dicermati adalah peraturan daerah (perda) yang mengatur pembangunan ‘polisi tidur’ bisa berbeda satu dan lainnya. Hal ini menyesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007, Pasal 3 huruf c, contohnya, berbunyi, “Kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang membuat atau memasang tanggul jalan”.
Pihak yang melanggar ketentuan pembangunan ‘polisi tidur’ bisa dikenakan sanksi pidana. Hal ini tertera pada UU LLAJ, Pasal 274 ayat 1 yang menyatakan hukuman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta bagi setiap orang yang mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi jalan, misalnya guna membangun ‘polisi tidur’. (SA)
Baca juga:
Kenapa Menara Pisa Bisa Tahan Gempa?
Smart City, Konsep dan Contohnya di Indonesia