Pelabuhan yang berfungsi secara efektif akan mendukung konektivitas Tol Laut.
Dalam mendukung pergerakan manusia dan barang, Indonesia sebagai negara maritim memiliki 2.342 pulau yang berpenghuni, yang tentu saja pergerakan antarpulau tersebut dapat dijangkau menggunakan moda laut ataupun udara.
Salah satu prasarana penting transportasi laut yakni pelabuhan di samping ketersediaan kapal yang cukup. Dalam mendukung program Tol Laut, peran pelabuhan menjadi penting dalam mewujudkan konektivitas jaringan pelayaran nasional.
Hal ini terutama dalam menyediakan konektivitas dan distribusi barang pokok dan penting ke wilayah 3TP (Tertinggal, Terpencil, Terluar dan Perbatasan).

Peran pelabuhan sebagai komponen moda transportasi laut sangat besar. Hasil studi badan PBB UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) memberi gambaran kontribusi moda transportasi dalam perdagangan dan pembangunan sebagai berikut: moda transportasi darat 16 persen, laut 77 persen, udara 0,3 persen, perpipaan 6,7 persen.
Sebagai negara Archipelago kontribusi transportasi laut akan lebih besar lagi.
Sejak program Tol Laut diimplementasikan Pemerintah tahun 2015 melalui Perpres No. 106 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik (lazim disebut Public Service Obligation, PSO) angkutan barang di laut, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah melakukan pembangunan pelabuhan sebanyak 113 pelabuhan singgah di 20 Provinsi.
Capaian pembangunan pelabuhan ini meningkat signifikan bila dibandingkan jumlah pelabuhan yang ada pada tahun 2015 sebanyak 11 pelabuhan. Namun demikian, penyediaan jalan akses ke pelabuhan melalui Jalan Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota masih menjadi kendala.
Bahkan, akses jalan di beberapa pelabuhan di wilayah kota-kota besar mengalami kemacetan akibat pengaruh pertumbuhan mobilitas penduduk dan lalu lintas dari atau ke pelabuhan.
Angkutan Laut di Indonesia
Ada 4 jenis angkutan laut yang dominan di Indonesia yakni angkutan minyak kelapa sawit (CPO), angkutan hasil tambang batu bara, angkutan BBM dan curah cair lainnya dan angkutan peti kemas.
Untuk 3 yang pertama umumnya dikelola swasta yang memiliki dermaga tersendiri dan biasa disebut TUKS (Terminal Untuk Kepentingan Sendiri), sedangkan yang untuk peti kemas dominan dikelola oleh PT Pelindo (Pelabuhan Indonesia).
Untuk pembinaan dan perbaikan, Kementerian Perhubungan lebih memfokuskan pada angkutan peti kemas karena mempunyai pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional.
Kondisi Pelabuhan di Indonesia
Dari sekitar 3.000 pelabuhan di Indonesia yang sudah masuk Rencana Induk Pelabuhan Nasional, baru 1.500 yang dikelola secara komersial dan hanya 300 di antaranya dikelola oleh PT Pelindo.
Terminal peti kemas yang dikelola oleh Pelindo berupa terminal konvensional/multi purpose/general cargo dan sebagian besar dibangun waktu zaman kolonial Belanda.
Sehingga dengan demikian masih terkendala oleh beberapa faktor antara lain keterbatasan kedalaman alur pelayaran yang mengakibatkan pelabuhan menjadi dangkal. Kemudian fasilitas dermaga yang kurang memadai untuk ditempatkan alat B/M peti kemas.
Tidak kalah pentingnya dukungan area daratan di belakang pelabuhan terbatas untuk pengembangan area lapangan penumpukan serta keberadaan pelabuhan di dalam kota sehingga jalan akses ke pelabuhan sempit dan padat.
Peran Pelabuhan dalam Konsep Pendulum Nusantara
Konsep Pendulum Nusantara dimaksudkan untuk melaksanakan pelayaran peti kemas khususnya pelayaran domestik berjadwal yang bermula dari Pelabuhan Belawan di barat sampai Pelabuhan Sorong di Papua.
Tujuan pelayaran berjadwal adalah untuk memastikan jadwal kapal yang datang dan pergi sehingga memudahkan dalam perencanaan bisnis angkutan laut serta terciptanya efisiensi secara nasional.
Uji coba terhadap konsep ini telah dimulai dengan pelayaran mulai dari Pelabuhan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar dan Bitung dengan waktu pelayaran selama 29 hari.
Dan akan dilanjutkan dengan pelayaran berjadwal lainnya di pelabuhan-pelabuhan strategis di Indonesia, termasuk melibatkan calon ibukota negara IKN yang disebut jaringan pelabuhan utama terpadu dan Superhub IKN.

Ketua Umum Himpunan Ahli Pelabuhan Indonesia (HAPI) Wahyono Bimarso menerangkan saat ini capaian kinerja pelayanan pelabuhan belum sesuai target.
Berdasarkan SK Dirjen Perhubungan laut No.HK 103/2/18/DJPL-16 dan No.HK 103/4/7/DJPL-16 pada 100 pelabuhan komersial dan 61 pelabuhan yang belum diusahakan, capaian kinerjanya sekitar 95 persen di tahun 2019.
Capaian kinerja pelayanan operasional pelabuhan tersebut hanya terkait pada pelayanan terhadap kapal, belum diikuti dengan pelayanan terhadap barang, sehingga terjadi dwelling time untuk layanan ekspor/impor di sejumlah pelabuhan utama, ujar Wahyono.
Berdasarkan laporan Ditjen Bea Cukai capaian dwelling time di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih di peringkat 46 dari target 40.
Peningkatan dwelling time tercapai di 4 pelabuhan utama (Tanjung Priok, Makassar, Belawan dan Tanjung Perak) dengan peningkatan yang cukup tajam dari 6-7 hari di tahun 2014 menjadi 3-4 hari di tahun 2019.
Sesungguhnya, capaian capaian dwelling time 3-4 hari tarsebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan standar dwelling time di beberapa negara tetangga seperti Singapura sekitar 1 hari dan Tanjung Pelepas Malaysia sekitar 2 hari.
Pemangkasan dwelling time untuk pelayanan ekspor/impor melalui peti kemas akan tetap menjadi salah satu target utama dalam penyelenggaraan sektor transportasi laut di pelabuhan. Dan tentunya memerlukan kerja sama yang erat dengan berbagai instansi terkait administrasi dan pelayanan ekspor-impor barang. (MAL/EDW)
Baca Juga: Apa Kabar Tol Laut?