JAKARTA, LINTAS – Jelang arus mudik Lebaran 2025, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) mengancam akan melakukan mogok operasi. Ancaman ini dipicu oleh kebijakan pembatasan operasional angkutan barang selama 16 hari, yang dinilai merugikan pelaku usaha dan pengemudi truk.
Selain itu, kesejahteraan sopir truk juga menjadi sorotan karena hingga kini belum ada perhatian khusus dari pemerintah terkait tunjangan hari raya (THR) maupun upah minimum.
Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) empat instansi telah menetapkan pembatasan operasional truk mulai 24 Maret hingga 8 April 2025. Keputusan ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan tol dan nontol selama puncak mudik dan arus balik.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari pelaku usaha logistik. Ketua APTRINDO, Gemilang Tarigan, menilai keputusan ini diambil tanpa mempertimbangkan masukan dari asosiasi angkutan barang.
“Jika tidak ada revisi, seluruh pengusaha angkutan barang akan berhenti beroperasi mulai 20 Maret 2025,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/3/2025).
Dampak Mogok Massal Sopir Truk
Jika mogok benar-benar terjadi, dampaknya akan meluas ke berbagai sektor, termasuk distribusi sembako, aktivitas pelabuhan, industri manufaktur, dan rantai pasok nasional. Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai kebijakan ini perlu dikaji ulang agar tidak merugikan banyak pihak.
“Kompromi bisa dilakukan dengan melarang hanya truk yang kelebihan muatan (ODOL) dan mempercepat pembenahan angkutan umum. Ini lebih efektif ketimbang membatasi seluruh operasional truk tanpa solusi yang jelas,” kata Djoko.
Selain pembatasan operasional, kesejahteraan sopir truk juga menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, rata-rata penghasilan sopir truk berkisar Rp 1juta- Rp 4 juta per bulan, di bawah upah minimum daerah.
“Pemerintah perlu segera menetapkan standar upah minimum bagi sopir truk. Jangan sampai mereka terus bekerja dengan kesejahteraan yang minim tanpa kepastian tunjangan dan perlindungan kerja,” ujar Djoko Setijowarno, yang juga Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat kepada redaksi Lintas, Senin.
Untuk menghindari mogok massal, Djoko menyebut ada beberapa langkah yang bisa diambil:
- Evaluasi kebijakan pembatasan operasional truk, dengan memangkas durasi pembatasan dari 16 hari menjadi maksimal 10 hari.
- Peningkatan kesejahteraan sopir truk, melalui penetapan standar upah minimum dan pemberian THR.
- Pengoptimalan moda transportasi alternatif, seperti kereta api dan transportasi laut untuk distribusi logistik jarak jauh.
- Penguatan angkutan umum di daerah, agar masyarakat lebih memilih transportasi massal saat mudik, sehingga beban lalu lintas berkurang.
“Sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan keseimbangan antara kelancaran arus mudik dan kesejahteraan pekerja di sektor logistik. Jika tidak ada solusi konkret, ancaman mogok sopir truk dapat menjadi kenyataan dan berimbas besar pada perekonomian nasional,” pungkasnya. (GIT)
Baca Juga: Mudik Gratis BUMN 2025, KAI Hadirkan Puluhan Ribu Tiket Kereta Api untuk Pemudik