Tujuh tahun telah berlalu, memori prahara bencana alam di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) telah menyisakan trauma dan kesedihan yang mendalam bagi warga Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala, serta sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah.
Pada Jumat, 28 September 2018, pukul 17.02 WIB, bumi gonjang ganjing di wilayah Sulteng. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa berpusat di kedalaman 10 km di jalur sesar Palu Kuro, dengan posisi pusat gempa berada di 27 km Timur Laut Donggala.
Gempa bumi tidak hanya mengakibatkan tsunami dahsyat, juga disusul fenomena likuefaksi atau hilangnya kekuatan dan ketahanan tanah berubah menjadi lumpur basah, yang mengakibatkan sejumlah bangunan dan rumah warga terbenam bak ditelan bumi di Potebo, Balaroa, dan Sibalaya, di Kota Palu.
Rilis resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban meninggal dunia yang teridentifikasi di Kota Palu 2.141 orang, Kabupaten Sigi 289 orang, Donggala 212 orang, dan Parigi Moutong 15 orang atau total 2.657 orang.
Selain itu ada 667 orang yang tidak ditemukan dan 1.016 jenazah korban meninggal yang tak bisa diidentifikasi, sehingga total korban jiwa sebanyak 4.340 orang, akibat gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi.
Bencana tersebut juga menyebabkan 17.293 rumah rusak ringan, 12.717 rumah rusak sedang, 9.181 rumah rusak berat, dan 3.673 rumah hilang di Kota Palu. Di Kabupaten Sigi sebanyak 10.612 rumah rusak ringan, 6.480 rumah rusak sedang, 12 ribu lebih rumah rusak berat, dan 302 rumah hilang.

Sementara di Kabupaten Donggala, bencana menyebabkan 7.989 rumah rusak ringan, 6.099 rumah rusak sedang, 7.215 rumah rusak berat, dan 75 rumah hilang, serta di Kabupaten Parigi Moutong sebanyak 4.191 rumah rusak ringan, 826 rumah rusak sedang, dan 533 rumah rusak berat.