JAKARTA, LINTAS – Banjir adalah fenomena alam yang tidak bisa dihindari sepenuhnya, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Namun, upaya pengelolaannya sering kali terjebak dalam narasi yang kurang realistis, seperti janji “Jakarta bebas banjir” atau “Bandung Selatan bebas banjir.”
Faktanya, tidak ada kota besar di dunia yang bisa benar-benar terbebas dari banjir. Yang bisa dilakukan adalah mengelola dampaknya agar tidak menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.
Hal itu diungkapkan oleh Pemerhati Banjir, yang juga Dirjen Sumber Daya Air (SDA) Tahun 2005, Siswoko Sastrodihardjo, dalam diskusi daring melalui aplikasi Zoom, Sabtu (22/3/2025).
Siswoko bercerita, pada tahun 1996, diskusi tentang pengelolaan banjir di Jakarta sudah mencatat satu kesimpulan penting: banjir tidak bisa dihilangkan, tetapi bisa dikendalikan.
Sayangnya, hingga saat ini, banyak kebijakan yang masih berfokus pada proyek infrastruktur tanpa mengedepankan strategi yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
“Banjir tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, tetapi dapat dikendalikan dengan pendekatan yang tepat. Infrastruktur saja tidak cukup; strategi non-struktural, seperti pengelolaan tata ruang dan edukasi masyarakat, juga harus menjadi prioritas.” ujar Siswoko.

Pendekatan Integratif
Strategi pengelolaan banjir haruslah bersifat integratif, yang berarti menggabungkan berbagai aspek, baik struktural maupun non-struktural.
Solusi Struktural: Infrastruktur Pengendalian Banjir
Solusi ini mencakup pembangunan fisik seperti:
- Bendungan dan waduk untuk menampung air berlebih.
- Tanggul dan kanal sebagai pengendali aliran banjir.
- Normalisasi sungai untuk memperlancar aliran air.
- Sumur resapan dan polder untuk mengurangi genangan.
“Namun, solusi struktural memiliki keterbatasan. Tidak mungkin membangun infrastruktur yang mampu mengatasi banjir dengan skenario terburuk,” tuturnya.
Ia mencontohkan, misalnya sungai-sungai di Jakarta didesain untuk menampung banjir dengan periode ulang tertentu, misalnya 50 tahunan. “Namun, ketika terjadi banjir lebih besar, infrastruktur tersebut tetap akan kewalahan,” tuturnya.
Solusi Non-Struktural: Manajemen Risiko dan Kesadaran Publik
Selain pembangunan fisik, strategi non-struktural sangat penting dalam mengurangi dampak banjir, seperti:
- Pengelolaan tata ruang yang ketat di dataran banjir agar tidak terjadi pemukiman liar yang rawan terdampak.
- Peringatan dini dan sistem evakuasi yang efektif agar masyarakat siap menghadapi bencana.
- Pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang risiko banjir dan cara mitigasinya.
- Penegakan hukum dalam pemanfaatan lahan, terutama untuk mencegah pembangunan di daerah rawan banjir.
- Kesadaran masyarakat menjadi faktor kunci.
Siswoko menambahkan, jika warga memahami bahwa mereka tinggal di kawasan rawan banjir, mereka akan lebih siap untuk mengantisipasi dan beradaptasi.
“Sayangnya, narasi yang salah di media, seperti janji ‘Jakarta bebas banjir,’ justru bisa membuat masyarakat lengah dan tidak peduli terhadap risiko yang ada,” tuturnya.
Belajar dari Negara Lain: Hidup Berdampingan dengan Banjir
Siswoko melanjutkan, negara-negara maju pun masih menghadapi banjir, tetapi mereka mengelola dampaknya dengan lebih baik.
Ia mencontohkan seperti Belanda yang mengembangkan peta dataran banjir sejak 1998 dan mengedukasi warganya bahwa mereka tinggal di wilayah rawan. Mereka juga mengadopsi konsep “Room for the River,” yaitu memberikan ruang bagi air untuk mengalir dengan alami.
Kemudian Amerika Serikat belajar dari bencana tahun 1993 di Sungai Mississippi, yang menunjukkan bahwa tanggul yang dibangun dengan desain 100 tahunan ternyata masih bisa jebol akibat banjir yang lebih besar.
Jepang mengkombinasikan solusi struktural dan non-struktural. Mereka membangun infrastruktur canggih, tetapi juga tetap mengedukasi masyarakat dan menerapkan tata ruang yang disiplin.
“Jakarta, Bandung, dan kota-kota lain di Indonesia seharusnya tidak hanya mengandalkan proyek fisik, tetapi juga menerapkan strategi pengelolaan banjir yang lebih holistik,” tegas Siswoko.
Untuk memastikan strategi ini berjalan, ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan:
- Menyamakan pemahaman di antara semua pemangku kepentingan bahwa banjir tidak bisa dihilangkan sepenuhnya.
- Mengoptimalkan perencanaan infrastruktur dengan pendekatan yang berbasis data dan risiko, bukan hanya proyek fisik semata.
- Menerapkan Key Performance Indicators (KPI) dalam pengelolaan banjir, agar tanggung jawab terhadap mitigasi banjir bisa diukur secara jelas.
- Mengedukasi masyarakat tentang risiko banjir, pentingnya tata ruang yang baik, dan langkah-langkah mitigasi yang bisa dilakukan secara mandiri.
- Memastikan adanya koordinasi lintas sektor agar pengelolaan banjir tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas. (GIT)
Baca Juga: Menteri PU Pastikan Proyek Giant Sea Wall Berlanjut untuk Tangani Banjir Jakarta