Truk tronton itu berhenti tepat di atas rel kereta api. Sesaat kemudian, brakkkkk. Tabrakan tidak terelakkan. Kereta api terus melaju dengan menyeret truk hingga lokomotif kereta itu akhirnya berhenti tepat di atas jembatan. Api pun seketika itu berkobar membumbung hingga puluhan meter tingginya.
Peristiwa mengerikan itu terjadi Selasa (18/7/2023) pukul 19.32. KA 112 Brantas menabrak truk yang berhenti di atas rel, di pelintasan sebidang, di kawasan Madukoro. Tepat di oprit jembatan Sungai Kanal Banjir Barat Kota Semarang, Jawa Tengah.
Ya, lagi-lagi pelintasan (bukan perlintasan) sebidang itu bawa petaka. Tak berlebihan, jika dikatakan, pemerintah negeri ini masih menyisakan pekerjaan rumah untuk mengatasi agar pelintasan sebidang itu tidak lagi memakan korban.
Baca Juga: Kereta Tabrak Truk Tronton, Jalur Jerakah-Semarang Poncol Terganggu
Bahkan, kita akui, PT KAI sangat memberi perhatian pada masalah yang seakan tak pernah berakhir ini. Kini, tinggal menunggu sebuah langkah konkret untuk menutup setiap pelintasan sebidang, apalagi yang tidak bisa dikendalikan.
Dari data PT KAI, tercatat bahwa hingga September 2022, ada 1.426 pelintasan sebidang yang dijaga dan 1.500 pelintasan tanpa penjagaan.
Baca Juga: PT KAI Dorong Penutupan Pelintasan Sebidang yang Membahayakan Masyarakat
Di Kota Jakarta saja, meskipun sudah banyak yang sudah ditutup permanen, pelintasan sebidang masih kita bisa temui di beberapa tempat. Coba saja melewati Jalan Taman Kota sebelum Jalan Inspeksi Kali Mookenvaart yang paralel dengan Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Beberapa pelintasan sebidang terdapat di wilayah itu. Beruntung ada sukarelawan yang berdiri di tengah pelintasan itu yang “menjual” jasa untuk memberi tahu pelintas kalau kereta lewat.
Tidak kebayang kalau “si abang” itu off umpamanya atau tidak bisa “bekerja” karena suatu hal. Siapa yang memberi tahu kalau kereta lewat kepada pelintas? Sebab, sama sekali tidak ada petunjuk kalau kereta lewat. Bahkan, nyaris tidak ada palang agar pelintas tahu.
Masyarakat Abai
Pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Jokowi dan diteruskan pada masa Basuki Tjahaja Purnama telah ditutup sejumlah pelintasan sebidang. Sebagai contoh, pelintasan dekat Stasiun Palmerah. Kini pelintasan itu sudah ditutup permanen.
Memang ada aturan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) Pasal 296 tertulis bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor pada pelintasan antara kereta api dan jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.
Aturan ini secara tegas mengikat setiap warga agar berhenti saat kereta lewat ketika berada di pelintasan sebidang. Akan tetapi, ada pemeo yang mengatakan, kalau tidak menerobos palang KA, bukan orang +62. Masyarakat kita masih saja abai untuk mengikuti aturan. Bahkan, tak sedikit yang nekat menerobos palang dengan mengangkatnya dan menyelinap lewat.
Seharusnya siapa pun harus mematuhi aturan demi keselamatan diri dan tentu juga orang lain. Akan tetapi, jika pelintasan tanpa rambu-rambu; tanpa portal, dan tanpa penjaga, apakah juga menjadi kesalahan masyarakat?
Kita berharap ada sebuah kebijakan tegas, nyata, dan berkesinambungan dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan. Saatnya semua pelintasan sebidang yang membahayakan jiwa masyarakat ditutup permanen. Ataupun jika tidak bisa ditutup permanen, semestinya pemerintah merevitalisasi setiap pelintasan sebidang tersebut.
Janji pemerintah untuk menutup 200-an pelintasan sebidang kita terus tunggu.
Perlu dipikirkan juga bagaimana membuat portal yang didesain sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak akan bisa menerobos palang atau portal. (HRZ)
Baca Juga: Pemerintah Akan Tutup 200 Lebih Pelintasan Sebidang untuk Kurangi Kecelakaan Kereta Api