Pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni hingga sekarang belum juga tercapai. Sejak Kongres Perumahan Rakyat Sehat tahun 1950, tata kelola perumahan dan backlog perumahan rakyat tidak pernah tuntas.
Saat ini, Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah penduduk terbanyak, di bawah China, India, dan Amerika Serikat. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia akan berdampak pada tingginya kebutuhan akan rumah. Situasi itu diperumit dengan bertambahnya jumlah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Banyak MBR di perkotaan terpaksa tinggal di kawasan kumuh, ilegal, dan tidak layak huni. Apabila tidak ditangani dengan sistemik akan meluas ke sektor lain, seperti meningkatnya angka kemiskinan, bertambahnya jumlah produksi sampah, dan tingginya kasus stunting.
Pada era reformasi, parameter program perumahan diukur melalui penurunan backlog serta rumah tidak layak huni dan kawasan kumuh. Pada awal 2000-an, jumlah backlog rumah tercatat 5,2 juta unit dan data 2022 menunjukkan jumlah backlog mencapai 12,7 juta. Hal ini memberikan kesan bahwa target pembangunan selama ini belum dapat mengurangi jumlah backlog.
“Saat itu, evaluasi terhadap efisiensi dan efektivitas sejumlah program yang sudah dilakukan berdasarkan acuan backlog. Bahkan, kawasan kumuh juga tidak menunjukkan adanya penurunan,” kata Pengamat Perumahan Paul Marpaung.
Empat parameter kawasan kumuh adalah akses air bersih, akses sanitasi layak, pemenuhan luas ruang per jiwa, dan kondisi bahan bangunan layak.
Salah satu gebrakan Kabinet Gotong Royong di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Kementerian Perumahan Rakyat dan Departemen PU melakukan Gerakan Nasional Pengembangan Satu Juta Rumah (GNPSR) pada acara perayaan hari Habitat Dunia di Bali pada 2003.
Saat itu, Puslitbangkim Departemen PU mengembangkan teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) untuk menunjang program GNPSR. Menggunakan teknologi tersebut, pembangunan rumah dapat dilakukan dalam 1 hari dan dapat menggunakan beberapa bahan setempat.
Rumah susun perkotaan
Paul mengatakan, salah satu gebrakan yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah mendorong pembangunan rumah susun di perkotaan melalui Departemen PU dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat.
“Termasuk pencanangan pembangunan seribu tower rumah susun (Rusun) menjadi energi pendorong pada periode 2004-2009,” lanjutnya.

Pemerintah memberikan fasilitas berupa PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah), sehingga harga nett satuan rumah susun (Sarusun) Rp 144 juta per unit.
”Saat itu, terjadi koreksi besar-besaran terkait harga jual Sarusun atau apartemen yang semula nett-nya sekitar Rp 1 miliar turun menjadi sekitar Rp 150 juta. Selain itu, pemerintah juga sudah menyediakan subsidi KPA (kredit pemilikan apartemen) atau KPR Sarusun yang memungkinan MBR mampu membeli satuan rusun di lokasi dalam kota,” kata Paul.
Pada periode itu, target pembangunan perumahan sebanyak 1.350.000 unit rumah sederhana, rumah susun sederhana sebanyak 60.000 unit, dan rumah susun milik sebanyak 25.000 unit dengan melibatkan pihak swasta.
Kementerian Keuangan turut mendirikan PT Sarana Multigriya Finansial (PT SMF) yang bertugas menyediakan dana murah jangka panjang untuk pembangunan perumahan pada 2005. Pada 5 April 2007, Presiden SBY melaksanakan pencanangan pemancangan pertama rumah susun sederhana milik (Rusunami) di Pulogebang, Jakarta. Rusunami dinyatakan sebagai barang strategis dan dibebaskan dari PPN.





