JAKARTA, LINTAS – Persiapan besar-besaran untuk mudik Lebaran 2025 ternyata tidak berbanding lurus dengan volume arus pemudik. Meskipun pemerintah telah mengantisipasi lonjakan dengan berbagai kebijakan, kenyataannya banyak daerah tujuan mudik justru terlihat lebih lengang dibanding tahun sebelumnya.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, suasana mudik tahun ini berbeda. Jalanan yang biasanya dipadati kendaraan dengan pelat luar daerah kini lebih lengang.
Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Gunungkidul, yang umumnya ramai oleh pemudik pada saat Lebaran. Sejumlah pengemudi yang melintas di Tol Trans Jawa dari arah Jawa Timur juga melaporkan perjalanan yang sangat lancar hingga H-1 Lebaran, baik bagi kendaraan yang mengarah ke timur maupun ke barat.
Data yang Berbicara
Data dari PT Jasa Marga (Persero) Tbk. mengonfirmasi penurunan jumlah kendaraan pada periode H-5 hingga H-1 dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun lalu, terdapat 1.045.330 unit kendaraan yang melintas, sedangkan tahun ini jumlahnya menurun menjadi 1.004.348 unit, atau turun sekitar 40.982 kendaraan.
Puncak arus mudik tetap terjadi pada H-3, dengan jumlah kendaraan yang meningkat dari 231.511 unit (2024) menjadi 255.027 unit (2025). Sementara itu, pergerakan pemudik justru meningkat signifikan pada H-10 dan H-9, menunjukkan adanya tren libur lebih awal.
Situasi serupa juga terjadi di Pelabuhan Merak, Banten. Jumlah kendaraan roda empat yang menyeberang dari Jawa ke Sumatra turun 0,1% dibanding tahun sebelumnya, dari 225.637 unit menjadi 225.400 unit. Namun, jumlah penumpang mengalami kenaikan 3%, dari 859.521 orang menjadi 885.828 orang.
Faktor Ekonomi dan Kebijakan yang Mempengaruhi
Penurunan jumlah pemudik ini bukan tanpa sebab. Menurut Darmaningtyas, peneliti di INSTRAN (Inisiatif Strategis untuk Transportasi), kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah turut berperan besar dalam fenomena ini.
“Banyak pegawai negeri dan swasta yang harus berhemat akibat kebijakan efisiensi anggaran dan pemutusan hubungan kerja. ASN muda yang memiliki tanggungan cicilan rumah dan kendaraan memilih menahan diri untuk tidak mudik. Sementara itu, bagi pekerja sektor swasta, kondisi ekonomi yang tidak menentu membuat mereka lebih memilih menyimpan dana untuk kebutuhan mendesak,” ujar Darmaningtyas di Jakarta, Kamis, (3/4/2025).
Selain itu, cuaca ekstrem juga menjadi faktor yang mengurangi minat masyarakat, terutama kelompok lansia, untuk melakukan perjalanan jauh. Faktor ini semakin mempertegas bahwa antusiasme mudik tahun ini tidak sebanding dengan persiapan yang telah dilakukan.
Menyambut musim mudik 2025, pemerintah telah melakukan berbagai langkah antisipasi. Salah satu landasan utama dalam perumusan kebijakan adalah hasil survei Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan, yang memperkirakan 146 juta orang akan melakukan perjalanan mudik.
Namun, sayangnya, kebijakan ini lebih banyak mengandalkan survei ketimbang evaluasi lapangan dari pelaksanaan mudik 2024 serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Darmaningtyas menyoroti bahwa kebijakan pelarangan kendaraan truk sumbu tiga selama 16 hari terlalu lama dan berpotensi menurunkan kinerja ekonomi nasional. “Kebijakan ini berdampak besar pada sektor logistik. Selain menghambat distribusi barang, juga menyebabkan kehilangan sumber pendapatan bagi pengusaha dan sopir truk, yang akhirnya juga berimbas pada keputusan mereka untuk tidak mudik,” jelasnya.
Mengulangi Kesalahan Nataru
Pengelolaan arus mudik di Pelabuhan Merak kali ini kembali menuai kritik. Secara umum, dari sisi pemudik, kebijakan pengalihan arus kendaraan berhasil mengurangi kemacetan. Namun, bagi operator kapal dan pelaku usaha transportasi, kebijakan ini justru merugikan.

“Pada saat Nataru 2024, lalu lintas menuju Pelabuhan Merak sangat lengang, bahkan terminalnya hampir kosong. Tetapi di sisi lain, antrean panjang justru terjadi di Pelabuhan Bandar Bakau Jaya (BBJ) yang dikhususkan untuk truk,” papar Darmaningtyas.
Situasi serupa kembali terulang pada mudik Lebaran 2025. Pada 25 Maret, antrean menuju Pelabuhan BBJ mencapai 1,2 km, sementara terminal di Merak terlihat lengang. Hal ini disebabkan kebijakan yang sejak 24 Maret mengalihkan operasional truk ke BBJ dan Ciwandan.
“Kebijakan ini seharusnya lebih fleksibel. Kalau truk tetap bisa masuk ke Merak dengan sistem kuota yang jelas, maka distribusi arus mudik akan lebih seimbang, tanpa merugikan pelaku usaha transportasi maupun sopir truk,” tambahnya.
Dengan berbagai evaluasi ini, diharapkan kebijakan mudik di masa mendatang bisa lebih mempertimbangkan kondisi ekonomi dan mobilitas masyarakat secara lebih komprehensif. Sehingga, persiapan yang dilakukan benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. (GIT)
1 comment
Saya setuju demgan pendapat Darmaningtyas, agar kebujakan selalu berdasrkan data yang terbaru dgn analisa komprehensive. Saya sangat sependapatndengan agar pelarangan kendaraan yruk jangan terlalunlama, dan angkutan barang yg berukuran kevil sampai medium dgn catatan tdk boleh overload tetap dimungkinkan lewat dengan terus memoertimbangkan volume lalulintas aktial setiap saat.