KARAWANG, LINTAS – Dianggap tidak memiliki izin, jembatan penyeberangan di Sungai Citarum–yang dikenal dengan nama Jembatan Besi Khusus Motor beromzet Rp 20 juta per hari yang viral di media sosial–terancam ditutup oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.
Rencana penutupan jembatan khusus sepeda motor yang sudah dioperasikan sejak 2010 tersebut ditentang oleh warga dan pengguna jalan tersebut.
“Saya sangat keberatan jika jembatan ini ditutup. Sebab, saya setiap hari harus lewat jembatan ini. Kalau saya harus lewat Teluk Jambe, itu jauh belum lagi macetnya,” ujar Endang (60), warga Desa Carimulya, Kecamatan Telagasari, Karawang, kepada Lintas, Selasa (20/5/2025).
Endang setiap hari berdagang dedak untuk pakan ternak dan pergi pulang harus melewati Jembatan Besi Khusus Motor tersebut.
Hal yang sama juga disampaikan oleh warga, Yano Sutrisno. Ia tidak setuju kalau jembatan itu ditutup.
“Kalaupun pemerintah mengambil alih dan membongkarnya silakan tetapi mohon diganti dengan jembatan yang baru,” ujar Yano.
Akeo (37), asal Rengasdengklok, mengaku menghidupi keluarganya dari bekerja sebagai karyawan bagian pemeliharaan dan operasional jembatan besi tersebut. “Saya bekerja dari 2017 dan mendapat upah Rp 150.00 per hari. Kalau ditutup, artinya saya dan karyawan lainnya menganggur. Bagaimana dengan kebutuhan keluarga kami. Kalau bisa, usaha penyeberangan ini jalan terus,” kata ayah satu anak ini.
Seperti diketahui, jembatan milik Haji Endang ini viral di media sosial. Pihak (BBWS) Citarum memberikan ultimatum agar jembatan tersebut ditutup. Saat Lintas mencoba mengonfirmasi hal ini, Kepala BBWS Citarum Dian Alma’ruf mengaku belum siap menjawab karena sedang ada kegiatan dan akan memberi waktu secepatnya untuk Lintas lewat pembicaraan di aplikasi Zoom.
Ikut Keputusan BBWS
Pemilik jembatan, Haji Muhamad Endang Junaidi, yang ditemui Lintas, Selasa (20/5/2025), mengaku tetap menyerahkan keputusan terbaik kepada pemerintah.
“Saya hanya berinisiatif untuk menolong masyarakat, memberikan lapangan kerja kepada warga. Jika itu dianggap melanggar aturan, ya, tolong dicarikan solusi terbaik. Apa pun keputusan BBWS sebagai pihak yang memiliki wewenang saya pasti ikuti. Tentu dengan catatan, keputusan yang berkeadilan. Bagaimana dengan karyawan kami. Bagaimana dengan investasi yang sudah kami kucurkan. Itu harus dibicarakan,” ujar Haji Endang.
Endang tidak menampik bahwa saat awal menjalankan usahanya itu tidak memiliki izin secara tertulis. Namun, ia pernah mendatangi Bupati Karawang saat itu, Dadang S Mochtar, untuk meminta izin, bahkan saat itu Endang mengajak sang bupati untuk menjalankan bersama, apalagi bakal bisa mendapat pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, Dadang tidak bersedia dan mempersilakan Endang jalan sendiri.
“Akhirnya saya meminjam uang kepada teman dan saya mulai membuat perahu eretan,” ujar Endang.
Seiring berjalannya waktu, Endang pun meminjam uang di bank sebanyak dua kali. Pertama Rp 700 juta dan terakhir Rp 750 juta untuk mengembangkan jembatan. Awalnya dari bahan kayu dialihkan menjadi jembatan besi.
“Hingga hari ini, saya masih menyisakan 16 bulan cicilan lagi. Cicilan per bulan Rp 26 juta,” katanya.
Endang mengakui, penghasilan yang diterimanya sekitar Rp 20 juta per hari bukanlah sepenuhnya masuk di kantongnya sendiri. Ia membayar gaji 40 karyawannya, memberi santunan kepada warga berupa sembako dan juga perbaikan jalan desa, menyantuni beberapa panti asuhan dan pondok pesantren, termasuk biaya rutin pemeliharaan jembatan. (MAL/PEP/HRZ)