Home Berita Pengamat MTI: Pelabuhan Hijau di Indonesia Masih Jauh dari Kenyataan

Pengamat MTI: Pelabuhan Hijau di Indonesia Masih Jauh dari Kenyataan

Share

JAKARTA, LINTAS — Pengembangan pelabuhan hijau (green port) di Indonesia dinilai masih menghadapi berbagai tantangan besar, baik dari sisi regulasi, insentif, maupun kemauan politik.

Hal ini disampaikan Hafida Fahmiasari, Ketua Forum Transportasi Maritim Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), dalam diskusi daring Sharing Session Ngerujak Malam sesi ke-23 bertema “Potensi Pengembangan Pelabuhan Hijau dan Tantangannya”, Jumat (25/4/2025).

Hafida mengungkapkan bahwa tantangan utama terletak pada ketiadaan regulasi yang tegas dan insentif yang jelas.

“Ketika tidak ada regulasi yang memberikan penalti atau insentif, maka pemain—baik dari sisi pelabuhan publik maupun swasta—tidak akan melakukan pergeseran ke arah pelabuhan hijau,” jelasnya.

Menurut dia, pada 2022 pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Keputusan Menteri tentang Ecoport, konsep pelabuhan yang ramah ekosistem. Namun peraturan tersebut dinilai masih terlalu umum dan tidak mencantumkan indikator teknis yang jelas, seperti jenis peralatan atau target emisi yang harus dicapai.

“Karena terlalu general, terkesan hanya sebagai formalitas. Tidak ada action plan yang jelas,” tegas Hafida.

Ia juga menyinggung lemahnya dukungan anggaran. Dijelaskan, bulan April 2025, Indonesia bahkan tidak mengirimkan delegasi ke pertemuan IMO (International Maritime Organization) di London karena tidak ada anggaran.

“Padahal, Indonesia merupakan anggota Dewan IMO Kategori C,” kata Hafida.

Selain itu, dari sisi pelaku industri, belum adanya insentif membuat transformasi menuju pelabuhan hijau terasa sia-sia.

“Misalnya, kapal yang menggunakan sistem ramah lingkungan seperti cold ironing atau shore power supply tidak mendapatkan potongan biaya sandar. Padahal di Singapura atau negara Eropa, diskon 10% atau lebih diberikan sebagai insentif,” ujarnya.

Sebaliknya, negara-negara maju justru menerapkan penalti bagi kapal yang tidak memenuhi standar ramah lingkungan.

“Kalau kamu masih pakai fuel dengan kadar sulfur tinggi, kamu bisa kena penalti fee tambahan,” ungkap Hafida.

Pentingnya Pendekatan Holistik

Lebih jauh, Hafida menjelaskan bahwa konsep green port yang ideal seharusnya mencakup lebih dari sekadar pengurangan emisi karbon.

Ia menekankan pentingnya pendekatan holistik, termasuk pengelolaan emisi lain seperti NOx dan PM2.5, tata kelola berkelanjutan (ESG), pelaporan keuangan yang hijau, hingga inklusivitas terhadap masyarakat adat.

“Sayangnya, di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, definisi pelabuhan hijau masih sempit dan hanya fokus pada pengurangan emisi karbon,” tambahnya.

Baca Juga: Kemacetan Panjang Menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Ini Jawaban Pelindo

Meski demikian, Hafida mencatat bahwa sejumlah pelabuhan besar seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Terminal Petikemas Surabaya telah mulai mengadopsi teknologi yang lebih ramah lingkungan, seperti Onshore Power Supply (OPS) di sekitar 50 titik di bawah pengelolaan Pelindo. Namun, penerapan ini masih sangat terbatas dan belum merata.

“Jadi kalau ditanya apakah Indonesia bisa punya pelabuhan hijau? Bisa. Tapi dengan kondisi saat ini, kita masih sangat jauh dari itu,” pungkas Hafida. (CHI)

Oleh:

Share

Leave a Comment

Majalah Lintas Official Logo
Majalahlintas.com adalah media online yang menyediakan informasi tepercaya seputar dunia infrastruktur, transportasi, dan berita aktual lainnya, diterbitkan oleh PT Lintas Media Infrastruktur.

Copyright © 2025, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.