Dalam kunjungannya ke Kalimantan beberapa waktu lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menekankan, pentingnya upaya dari Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) untuk menegakkan ketentuan dalam penggunaan Automatic Identification System (AIS), yaitu Sistem Identifikasi Kapal Otomatis.
Menurut Menhub, setiap kapal wajib menggunakan teknologi AIS. Menarik untuk mengenal lebih detail terkait alat AIS yang sangat dibutuhkan dalam dunia pelayaran ini. Sesungguhnya, awam hanya sering mengenal alat yang disebut dengan radar.
Baca Juga: Menhub Dorong Pemilik Terminal di Kalimantan Selatan Bentuk BUP
AIS merupakan peralatan navigasi yang penting dalam perkembangan teknonologi keselamatan pelayaran setelah dikenalkannya sistem radar.
Setiap kapal yang membawa bendera Indonesia dan kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia diwajibkan untuk memasang dan mengaktifkan AIS.
Dilansir dari laman dephub.go.id, AIS merupakan sistem pemancaran radio Very High Frequency (VHF) yang menyampaikan data melalui VHF Data Link (VDL). Hal itu untuk mengirim dan menerima informasi secara otomatis ke kapal lain, stasiun VTS atau SROP. Dengan menerapkan sistem AIS akan dapat membantu pengaturan lalu lintas kapal dan mengurangi bahaya dalam bernavigasi.
Saat kapal beroperasi, perangkat AIS akan terus-menerus mengirimkan data kapal seperti nama dan jenis kapal. Termasuk tanda panggilan (call sign), kebangsaan kapal, maritime mobile services identities (MMSI), International Maritime Organization (IMO) Number. Lalu informasi terkait bobot kapal, data spesifikasi kapal, status navigasi, koordinat kapal. Serta tujuan pelayaran beserta estimasi waktu tiba, kecepatan, dan arah kapal.
Jenis AIS
Menurut jenisnya, AIS terdiri dua jenis, yakni AIS Klas A dan Klas B. AIS Klas A dipasang dan diaktifkan pada kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia.
AIS Klas B dipasang dan diaktifkan pada kapal berbendera Indonesia yang meliputi kapal penumpang dan kapal barang nonkonvensi dengan ukuran paling rendah 35 gross ton, kapal yang berlayar antarlintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain di bidang kepabeanan serta kapal penangkap ikan berukuran dengan ukuran paling rendah 60 gross ton.
Hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM No 7 Tahun 2019 mengenai pemasangan dan pengaktifan sistem identifikasi otomatis untuk kapal yang berlayar di perairan Indonesia, yang diterbitkan pada 20 Februari 2019. Peraturan menteri ini resmi berlaku setelah enam bulan sejak tanggal pengumuman.
Fungsi Utama AIS
Pertama, pelacakan kapal. AIS memungkinkan kapal-kapal untuk saling melacak posisi, kecepatan, arah, dan informasi lainnya. Ini membantu dalam mencegah tabrakan antara kapal dan memungkinkan navigasi yang lebih aman.
Kedua, penghindaran tabrakan. Dengan informasi real-time tentang posisi dan lintasan kapal-kapal di sekitarnya, para awak kapal dan petugas pengawas dapat mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari potensi tabrakan.
Ketiga, pengawasan maritim: Pihak berwenang seperti badan penegak hukum dan lembaga maritim dapat menggunakan AIS untuk memantau pergerakan kapal-kapal di wilayah perairan mereka. Ini membantu dalam menjaga keamanan dan mengatasi aktivitas ilegal, seperti perburuan ikan ilegal atau penyelundupan.
Keempat, manajemen lalu lintas kapal. Di pelabuhan atau perairan dengan lalu lintas kapal yang padat, AIS dapat membantu dalam mengatur aliran kapal untuk mencegah kemacetan dan memaksimalkan efisiensi.

Kelima, bantuan navigasi. Informasi yang diberikan oleh AIS juga dapat digunakan sebagai bantuan navigasi bagi kapal-kapal, terutama dalam kondisi cuaca buruk atau saat navigasi yang rumit.
Fahrial Amri, Nakhoda KMP Sumut I, yang melayari Pelabuhan Simanindo Tigaras di Danau Toba, Kabupaten Samosir, Sabtu (6/5/2023), kepada Lintas, mengaku sebagai nakhoda dirinya sangat terbantu dengan AIS.
“Lewat alat itu saya bisa berkomunikasi dengan pelabuhan dan juga dengan kapal yang lain,” kata Fahrial.

Sejarah
Berdasarkan penelusuran Lintas, sejarah terbentuknya AIS adalah berawal dari perkembangan teknologi radio dalam navigasi. Penggunaan teknologi radio dalam navigasi maritim dimulai pada awal abad ke-20. Kapal-kapal mulai menggunakan radio untuk berkomunikasi dan memberikan informasi navigasi dasar.
Seiring dengan pertumbuhan transportasi laut dan intensitas lalu lintas kapal yang meningkat, muncul kebutuhan akan pemantauan kapal yang lebih efektif. Tujuannya adalah menghindari tabrakan, kecelakaan, dan pelanggaran hukum dengan mengelola lalu lintas kapal secara cermat.
Konsep transponder mulai diperkenalkan pada 1970-an sebagai solusi untuk mengidentifikasi kapal dan memfasilitasi pertukaran informasi antara kapal. Transponder, sebuah perangkat elektronik yang mampu menerima dan mengirimkan sinyal, menjadi bagian penting dari konsep ini.
Pada 2000, International Maritime Organization (IMO) mengadopsi standar AIS sebagai bagian dari SOLAS (Safety of Life at Sea) untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi lalu lintas maritim. Pengembangan AIS melibatkan kolaborasi lintas industri, termasuk pemerintah, perusahaan navigasi, dan produsen peralatan elektronik.
Pada 2002, sistem AIS secara resmi diperkenalkan sebagai persyaratan untuk kapal-kapal tertentu dengan ukuran tertentu. Implementasi sistem ini bertujuan meningkatkan visibilitas dan kesadaran situasional di laut.
Seiring berjalannya waktu, teknologi AIS terus berkembang. Fitur seperti AIS-SART (Search and Rescue Transponder) ditambahkan untuk mendukung operasi penyelamatan. Integrasi sistem AIS dengan peralatan navigasi kapal lainnya, termasuk radar dan sistem manajemen lalu lintas kapal (VTS), semakin ditingkatkan.
Penerapan sistem AIS semakin meluas di seluruh dunia sebagai bagian dari upaya global untuk meningkatkan keselamatan navigasi dan mengurangi risiko insiden maritim.
Sejak itu, AIS telah menjadi elemen krusial dalam navigasi maritim modern. Sistem ini telah efektif mengurangi risiko tabrakan, memberikan informasi yang tepat dan akurat kepada otoritas yang berwenang, dan secara keseluruhan meningkatkan keselamatan serta efisiensi pelayaran di lautan.
Penggunaan di Indonesia
Penggunaan AIS di Indonesia dimulai sejak 2005, ketika Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) mengadakan proyek pengembangan sistem pengawasan lalu lintas kapal berbasis AIS dengan nama Indonesia Vessel Traffic Management Information System (INVTMIS). Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran, memantau aktivitas kapal di perairan Indonesia, serta mendukung implementasi Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok.
Pada 2010, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian yang mewajibkan penggunaan AIS pada seluruh kapal berbendera Indonesia serta kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia.
Peraturan ini juga mengatur tentang jenis, spesifikasi, instalasi, operasi, dan pemeliharaan perangkat AIS pada kapal.
Pada 2013, Ditjen Hubla meluncurkan aplikasi INAMARIS (Indonesia Marine Information System) yang merupakan sistem informasi maritim berbasis web yang dapat memberikan informasi posisi dan identitas kapal secara real time melalui data AIS. Aplikasi ini dapat diakses oleh publik ataupun instansi terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Badan SAR Nasional, Bea Cukai, dan lain-lain.
Pada 2017, Ditjen Hubla mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE.03/AL.202/III/2017 tentang Penegakan Hukum Penggunaan Automatic Identification System (AIS) pada Kapal Berbendera Indonesia dan Kapal Asing yang Berlayar di Perairan Indonesia. Surat edaran ini mengatur tentang sanksi administratif bagi kapal yang tidak mematuhi ketentuan penggunaan AIS, seperti teguran tertulis, penundaan keberangkatan, hingga pencabutan sertifikat keselamatan.
Produser Alat AIS
Menurut hasil penulusuran Lintas, pembuat atau produser alat AIS pertama sekali adalah Norcontrol, sebuah perusahaan asal Norwegia yang bergerak di bidang sistem pengawasan lalu lintas kapal.
Norcontrol mengembangkan prototipe AIS pada tahun 1992 dan melakukan uji coba di Selat Inggris pada 1994. Pada 1998, Norcontrol bergabung dengan perusahaan lain untuk membentuk Kongsberg Norcontrol, yang menjadi salah satu produsen alat AIS terkemuka di dunia.
Selain Norcontrol, ada juga beberapa perusahaan lain yang berkontribusi dalam pengembangan alat AIS, seperti SAAB TransponderTech dari Swedia, Furuno dari Jepang, dan SevenCs dari Jerman. Mereka semua bekerja sama dengan organisasi internasional seperti International Maritime Organization (IMO), International Telecommunication Union (ITU), dan International Association of Marine Aids to Navigation and Lighthouse Authorities (IALA) untuk menetapkan standar dan spesifikasi teknis alat AIS. (MDF/HRZ)