Oleh: Ir H Achmad Maliki, ME (Kepala BWS Kalimantan III 2007-2011)
Tampak judul artikel ini sangat ironis, air kurang kok bisa menimbulkan banjir. Demikianlah yang terjadi di DKI Jakarta. Kekurangan pasokan air bersih melalui jaringan perpipaan dari PAM Jaya mengakibatkan penggunaan air tanah sebagai satu-satunya cara memenuhi kebutuhan air warga DKI Jakarta.
Pengambilan air tanah dangkal maupun dalam yang berlebihan dan tidak terkendali berdampak pada penurunan muka tanah walau bukan satu-satunya penyebab. Karena muka tanah semakin turun, dampak susulannya adalah semakin kerap banjir yang terjadi disertai kedalaman genangan yang semakin besar.
Hasil pemantauan Badan Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2016 menunjukkan angka penurunan tanah tertinggi berkisar 12 cm per tahun di beberapa lokasi, terutama di wilayah utara Jakarta. Bahkan lebih dari itu peneliti ITB mencatat penurunan tanah di Jakarta Utara mencapai 20-25 cm per tahun sehingga kelak di tahun 2050, 95% wilayah Jakarta Utara akan tenggelam karena sudah di bawah permukaan laut.
Ahli kelautan dan peneliti International Sea Level Institute, John Englander, menempatkan Jakarta di urutan teratas dalam daftar 10 kota yang paling cepat tenggelam di dunia, menyalip Manila, Ho Chi Minh, Bangkok, Shanghai, Venesia dan lain-lain.
Penyediaan air minum/bersih
Selaku perusahaan daerah air minum tunggal di Jakarta, PAM Jaya hanya menggunakan air permukaan bukan air tanah, dan itupun baru memenuhi sekitar 65% kebutuhan warga DKI Jakarta walau sudah dibantu oleh dua operator swasta Aetra dan Palyja. Tingkat perkembangan pelayanan yang diharapkan masih jauh dari target 82 persen pada tahun 2023.
Catatan kenaikan tingkat pelayanan menunjukkan pada tahun 1998 hanya 44,5% warga yang terlayani, kemudian pada tahun 2017 baru 59,4%. Belum lagi tingkat kebocoran air di Jakarta mencapai 44,3%. Sebagian besar sumber air baku PAM Jaya berasal dari luar Jakarta dan hanya 6% berasal dari internal Jakarta. Pasokan air baku dari luar Jakarta, antara lain dari Waduk Jatiluhur melalui Saluran Tarum Barat (Kalimalang) sebesar 82%, dan dari Tangerang melalui Sungai Cisadane sebesar 12%.
Penggunaan air tanah
Penggunaan air tanah di DKI Jakarta dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pengguna air tanah terbesar di wilayah Kota Jakarta Selatan, karena kualitas air tanahnya masih bagus dan lebih murah dibandingkan air dari perpipaan. Sedangkan penggunaan air tanah di Jakarta Utara yang terkecil karena penggunaan air tanah dangkal kualitasnya air payau (bercampur asin).
Penggunaan air tanah sulit terhindari untuk kawasan yang belum terdapat jaringan pipa air, masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap air perpipaan cenderung mengunakan air tanah secara terus-menerus karena penggunaan air tanah sebagai satu-satunya pilihan, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam.
Pengendalian air tanah
Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru pada tahap pengendalian air tanah belum sampai pada larangan penggunaan air tanah walau ada usulan larangan penggunaan air tanah pada kawasan yang sudah ada jaringan perpipaan air. Untuk mengendalikan pengunaan air tanah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Diamanatkan dalam Pergub mulai 1 Agustus 2023 tidak diperbolehkan lagi menggunakan air tanah bagi gedung bertingkat delapan atau lebih atau luas gedung 5.000 meter atau lebih.
Pasokan air baku DKI Jakarta
Untuk mengurangi atau melarang penggunaan air tanah, serta mencegah penurunan tanah diperlukan pasokan air baku yang cukup bagi kebutuhan seluruh warga Jakarta. Dan ini hanya bisa dipenuhi dengan mendatangkan air baku dari luar Jakarta. Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR bersama Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, disaksikan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi telah berkomitmen untuk membangun tiga Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) regional melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KBPU).
Kolaborasi pencegahan penurunan tanah dan pemenuhan air perpipaan ini dilakukan melalui penandatanganan nota kesepakatan (MoU) “Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta” pada tanggal 3 Januari 2022.
Ketiga SPAM regional tersebut meliputi SPAM Regional Jatiluhur I berkapasitas 4.000 liter/detik akan menambah 13% layanan, dan SPAM Karian-Serpong dengan kapasitas 3.200 liter/detik menambah 10% layanan, serta SPAM Juanda II berkapasitas 2.054 liter/detik menambah 7% layanan.
“Mudah-mudahan pada 2030 semua penduduk DKI Jakarta dapat dilayani dengan air minum perpipaan, sehingga harapan kita semua untuk bisa mengendalikan pemanfaatan air tanah bisa kita laksanakan” kata Menteri Basuki.
Perumusan action plan
Target 100% layanan air minum bagi warga Jakarta pada tahun 2030 yang disampaikan Menteri PUPR saat penandatanganan MoU berbeda dengan Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Pergub Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah`yang ingin dicapai 100% pada tahun 2023.
Perbedaan target sebesar tujuh tahun antara Menteri PUPR dan Gubernur DKI Jakarta dalam memenuhi layanan 100% air minum warga Jakarta perlu ditindak lanjuti dengan perumusan rencana aksi (action plan) yang diperlukan selama tujuh tahun. (*)
Baca juga:
Masalah dan Solusi dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)