Oleh Achmad Maliki
Mungkin sebagian orang bertanya-tanya mengapa ketika terjadi banjir banyak para korban banjir seolah menikmati kejadian banjir tersebut. Banjir semacam ini umumnya terjadi di daerah/kawasan “langganan banjir” sehingga mereka telah terbiasa menghadapi banjir. Inilah yg disebut hidup harmoni bersama banjir.
Umumnya mereka yang telah berhasil hidup harmoni bersama banjir enggan berpindah tempat tinggal sekalipun disediakan perumahan oleh pemerintah. Bagi siapa pun cukup beralasan mengapa mereka tidak mau meninggalkan rumahnya.
Lihatlah di berbagai video atau foto yang beredar di media sosial. Saat banjir, para korban malah terlihat bersukacita dan bermain di tengah-tengah genangan banjir.
Seperti yang dialami seorang warga bernama Heri yang tinggal di RT 013 RW 003 Kampung Pulo Jatinegara, Jakarta Timur, yang bertempat tinggal di tepi Sungai Ciliwung. Ketika ditanya, mengapa warga di sini tidak memilih pindah rumah untuk menghidari banjir. Jawaban mereka cukup masuk akal. Mereka beralasan dekat dengan mata pencarian sehari-hari dan toh banjir tidak datang setiap hari, dan banjir itu pun hanya terjadi di musim hujan.
Apa yang telah diperbuat oleh mereka untuk menyiasati hidup harmoni bersama banjir, mereka membuat tempat tinggalnya lebih dari satu lantai walaupun cukup sederhana terbuat dari kayu dan tidak sedikit yang sudah permanen. Sehingga bila banjir menenggelamkan lantai dasar rumahnya, mereka berpindah ke lantai di atasnya bersama perabotannya dan seterusnya bahkan tidak sedikit yang rumahnya tiga lantai.
Di luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sumatera, sebagian besar penduduknya yang bertempat tinggal di tepi sungai, lebih terbiasa menghadapi banjir yg kerap terjadi sejak nenek moyang mereka.
Sebagian penduduk membuat rumah panggung yang diwariskan turun-temurun. Di kawasan Danau Jempang, Semayang, dan Melintang di Kabupaten Kutai barat Provinsi Kalimantan Timur ketika musim hujan dan banjir datang mata pencarian mereka beralih ke perikanan, dan menanam padi justru dilakukan di musim kemarau. Di kawasan ini banjir yang melanda mereka sampai berbulan-bulan lamanya.
Di Kalimantan Timur, seorang warga bernama Syahlan yang bertempat tinggal di Desa Melintang, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, mengisahkan kehidupannya ketika banjir yang diakibatkan meluapnya Sungai Mahakam hulu menggenangi seluruh wilayah desanya selama berbula-bulan.
Desa Melintang yang berlokasi di kawasan Danau Melintang hanya bisa ditempuh melalui tranportasi air berupa perahu motor yang biasa disebut ketinting atau speedboat. Mata pencarian masyarakatnya sebagai nelayan dengan budi daya perikanan air tawar, bila musim kemarau di samping perikanan, mereka justru menanam padi di areal danau yang masih menyisakan genangan air.
Sebenarnya, dampak kerugian akibat banjir lebih besar yang tak terhitung daripada yg dapat dihitung seperti kerusakan fisik berupa harta benda dan fasilitas umum. Namun, dampak kerugian nonfisik seperti stres, kemacetan, perekonomian mandek dan lainnya sulit diperhitungkan.
Oleh karena itu, pilihan hidup harmoni bersama banjir sangatlah tepat sekaligus sebagai ujian yang harus selalu kita jalani dan kita nikmati.
(Achmad Maliki, Kepala BWS Kalimantan 3 Periode 2007-2011; Dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Trisakti)