JAKARTA, LINTAS – Pelintasan sebidang kereta api masih menjadi titik rawan kecelakaan di Indonesia. Berdasarkan data PT KAI (2025), terdapat 3.896 pelintasan sebidang yang terdiri dari 2.803 jalur resmi dan 1.093 jalur ilegal. Dari jumlah tersebut, 1.879 pelintasan tidak terjaga, menjadikannya potensi bahaya bagi pengguna jalan.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menegaskan bahwa kecelakaan paling banyak terjadi di perlintasan yang tidak dijaga, mencapai 81 persen dari total kejadian.
Dalam lima tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah kecelakaan di perlintasan sebidang. Berikut datanya:
- 2020: 269 kejadian
- 2021: 277 kejadian
- 2022: 288 kejadian
- 2023: 328 kejadian
- 2024: 337 kejadian
Total korban kecelakaan selama periode tersebut mencapai 1.226 orang, dengan rincian 450 meninggal dunia, 318 luka berat, dan 458 luka ringan.
Rata-rata, 24 orang menjadi korban setiap bulan, dengan jenis kendaraan terdampak paling banyak adalah sepeda motor (55 persen) dan kendaraan roda empat atau lebih (45 persen).
Jumlah lokomotif yang tertemper kendaraan juga meningkat signifikan dari 490 unit pada 2020 menjadi 756 unit pada 2024.
Baca Juga: Perjalanan Jakarta-Bandung Lebih Hemat dengan Tarif Parsial KA Parahyangan
Faktor Risiko Kecelakaan
Djoko menjelaskan bahwa kecelakaan umumnya terjadi pada malam hari dan di daerah perdesaan. Seiring berkembangnya permukiman, banyak perlintasan sebidang baru muncul tanpa pengawasan yang memadai.
Ditambah lagi, kecepatan kereta api kini mencapai 120 km/jam, dari yang semula 90 km/jam, sehingga pengendara yang tidak waspada berisiko besar tertabrak.
Selain itu, banyak pengguna jalan yang tidak mematuhi Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengharuskan kendaraan berhenti saat sinyal berbunyi dan palang pintu tertutup.
Untuk mengurangi kecelakaan, Djoko menyebut perlintasan sebidang sebaiknya ditutup dan digantikan dengan perlintasan tidak sebidang, seperti flyover atau underpass.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki kewenangan untuk menutup perlintasan yang rawan kecelakaan, terutama yang tidak memiliki izin.
Namun, kata Djoko, jika perlintasan masih diperlukan, kehadiran Petugas Jaga Lintasan (PJL) harus diperkuat. PJL berperan penting dalam:
- Mengoperasikan peralatan perlintasan
- Mengamankan perjalanan kereta api
- Menutup dan membuka palang pintu
PJL harus memenuhi persyaratan ketat, termasuk pelatihan dan sertifikasi dari balai pengujian perkeretaapian.
Djoko Setijowarno juga mengusulkan agar Dana Desa dapat digunakan untuk memperkuat keberadaan PJL, mengingat banyak perlintasan sebidang berada di wilayah perdesaan. (GIT)