Home Opini Angkutan Umum Mati Suri, Harhubnas 2025 Hanya Jadi Seremoni?

Angkutan Umum Mati Suri, Harhubnas 2025 Hanya Jadi Seremoni?

Share

Oleh: Muhamad Akbar, Pemerhati Transportasi

Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas) 2025 kembali diperingati dengan tema “Bakti Transportasi untuk Negeri.” Tema ini terdengar kuat, seakan menegaskan transportasi sebagai pengabdian nyata bagi masyarakat luas. Namun, di lapangan wajah angkutan umum justru menunjukkan kenyataan sebaliknya.

Di banyak kota, transportasi publik semakin terpinggirkan, sementara ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi terus meningkat. Pertanyaannya, apakah semangat bakti itu benar-benar sudah hadir dalam kehidupan sehari-hari warga, atau Harhubnas hanya berhenti sebagai seremoni tahunan belaka?

Penggunaan Angkutan Umum Masih Rendah

Jakarta, yang dianggap paling maju dengan jaringan TransJakarta, MRT, LRT, dan integrasi Jaklingko, pada 2024 hanya mencatat tingkat penggunaan angkutan umum sekitar 18,86 persen. Angka ini menandakan betapa sulitnya menjadikan transportasi publik sebagai tulang punggung mobilitas.

Jika di ibu kota saja pemakaian transportasi umum belum mencapai seperlima perjalanan harian, maka kota-kota lain yang infrastrukturnya jauh lebih terbatas kondisinya hampir pasti lebih rendah. Fakta ini membuat peringatan Harhubnas seharusnya menjadi momen refleksi: apakah sistem transportasi kita sudah benar-benar hadir sebagai wujud bakti bagi masyarakat?

Potret Suram Transportasi Publik di Daerah

Kemunduran angkutan umum semakin nyata di berbagai daerah. Bandung: jumlah angkot terus menyusut, sebagian besar armada tua dan tidak layak jalan.

Semarang, layanan BRT yang sudah beroperasi sejak 2009 belum mampu menarik penumpang dalam jumlah besar. Di Palembang: LRT yang dibangun untuk Asian Games 2018 hanya mengangkut belasan ribu penumpang per hari, jauh di bawah kapasitas.

Sementara di Makassar, BRT Trans Mamminasata sempat berhenti beroperasi karena subsidi pusat terhenti, kini hanya bertahan terbatas dengan dukungan program Bus Trans Sulsel.

PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) melakukan modifikasi layanan Mikrotrans JAK 78 rute Benda – Penjaringan. | Dok/Transjakarta

Situasi lebih memprihatinkan di kota menengah dan kecil. Denpasar, misalnya, pada 2007 hanya mencatat tingkat penggunaan angkutan umum 3–4 persen. Studi pada 2016 menunjukkan peningkatan, tetapi hanya sekitar 8,8 persen.

Warga maupun wisatawan hampir tidak punya pilihan selain motor atau mobil pribadi. Di banyak kota lain, angkot nyaris punah, jadwal tidak menentu, dan armada sudah uzur.

Ironi ini menunjukkan bahwa kota-kota yang seharusnya menjadi wajah Indonesia di mata dunia justru memperlihatkan kondisi transportasi publik yang nyaris hilang.

Oleh:

Share