Sumber informasi tepercaya seputar infrastruktur,
transportasi, dan berita aktual lainnya.
10 February 2025
Home Opini Warga Non-Jabodetabek Dianaktirikan  

Warga Non-Jabodetabek Dianaktirikan  

Picture of Moch S Hendrowijono

Moch S Hendrowijono

Wartawan Senior; Pengamat Telekomunikasi dan Transportasi

Share

Isu mengenai tarif kereta rel listrik (KRL), yang didasarkan pada NIK (nomor indentitas kependudukan) wilayah Jabodetabek, memicu ketidaksenangan para penikmati angkutan kota yang murah dan cepat itu. Masalahnya hampir separuh penumpang KRL merupakan calon korban kebijakan itu. 

KRL merupakan salah satu jenis angkutan kota berbasis rel, selain LRT (lite rail transit) , MRT (mass rapid transit–moda raya terpadu), KRD (kereta rel disel), juga kereta ekonomi jarak sedang dan jauh. Semua jenis ini, karena harus menerapkan tarif murah agar terjangkau semua penumpang, diberi subsidi yang namanya PSO (public service obligation–kewajiban pemerintah memberi layanan setara). 

Subsidi/PSO pemerintah tahun 2024 untuk penumpang KA ekonomi jarak jauh dan sedang, KRL , LRT, MRT, sebesar Rp 7,96 triliun. PSO menomboki kekurangan biaya operasi, perawatan dan sebagainya yang lebih besar dibanding pendapatannya akibat kebijakan tarif murah.  

PT KAI mendapat PSO untuk KA penumpang ekonomi jarak jauh dan sedang Rp 4,7 triliun, Rp 3,2 triliun sisanya untuk KRL/moda transportasi berbasis rel. Sementara jumlah penumpang KRL tahun 2023 mencapai 290,9 juta, penumpang kereta jarak jauh dan sedang “cuma” 82 juta-an.  

Di satu sisi, ada pemahaman bahwa subsidi diberikan hanya untuk penumpang kurang mampu. Ini yang menjadi dasar pengambil kebijakan yang mengklaim bahwa subsidi untuk Jabodetabek tidak tepat sasaran sehingga muncul wacana membatasi penumpang berdasarkan NIK. 

Pembuat kebijakan kurang sadar bahwa sasaran PSO bukan hanya orang miskin atau tidak mampu. Sasarannya justru mendorong penduduk Jabodetabek meninggalkan kendaraan mereka di garasi, lalu naik KRL saat pergi bekerja atau berbelanja, mengurangi kemacetan lalu lintas yang makin parah. 

Para penumpang menunggu KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta. | Dok. KAI
Para penumpang menunggu KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta. | Dok. KAI

Macetnya lalu lintas membuat penggunaan bahan bakar, oli dan kampas rem menjadi lebih banyak dari seharusnya, juga polusi udara. Belum bagi kerugian akibat sopir dan penumpang stres, selain akibat lambatnya perjalanan. 

Baca Juga: Tarif KRL Disesuaikan Menurut NIK Berlaku Awal 2025, Menhub: Terbaik untuk Rakyat

Penduduk Luar 

Catatan menyebutkan, Jakarta sebagai kota besar–tidak lagi Ibu Kota–menderita kerugian sampai Rp 100 triliun setahun akibat kemacetan lalu lintas. Dari jumlah itu, Rp 60 triliun kerugian dari keborosan BBM, oli, kampas rem dan sebagainya, kerugian Rp 40 triliun akibat pencemaran udara, waktu perjalanan yang panjang dan stres. 

Sebagai gambaran, penduduk kota Bogor jika membawa kendaraan sendiri ke pusat kota Jakarta perlu waktu setidaknya 90 menitan, naik bus umum bisa lebih dari 120 menit. Sementara naik KRL waktu tempuh hanya sekitar 60 menit. Penumpang tetap segar meski berkeringat karena berdesakan. 

Bagaimanapun, penumpang KRL Jabodetabek, atau MRT atau LRT lebih sehat dibanding mereka yang di jalan raya. Penumpang kereta tiap pagi dan sore selalu menikmati aroma terapi gratis, yang kalau minta layanan serupa di salon perlu kuras kantong sampai seratus ribuan. 

Masih banyak lagi benefit angkutan Jabodetabek berbasis rel itu. Terutama kesempatan antarwarga untuk menjalin silaturahim, cari-cari calon istri/suami, atau sekedar sengaja senggolan. 

Lalu apa hubungan antara penumpang KRL dengan penerapan NIK? Ini menyangkut domisili penumpang, yang akan dipilah-pilah antara penduduk Jabodetabek dengan “penduduk luar”. 

Polanya seperti cara Kementerian Sosial menenadai mereka yang berhak mendapat bansos (bantuan sosial) baik berupa BLT tunai atau beras. Dengan NIK versi Kemensos kerabat Pak RT atau lurah tidak mungkin lagi dimasukkan ke daftar penerima bansos yang punya gaji UMR, rumah keren, ada mobil dan motor.  

NIK buatan Kemensos diberikan khusus bagi mereka yang mendapat jatah bantuan sosial (bansos). Maksudnya agar lurah atau RT tidak akan salah beri 10 kg beras bansos kepada yang berhak, yang benar-benar membutuhkan.  

Lebih mahal 

Pola pemilahan berdasarkan NIK punya hasil sampingan, menambah penghasilan para operator moda angkutannya. 

Penumpang akan dipilah-pilah, penduduk Jabodetabek atau bukan. Penduduk Jabodetabek bisa dapat harga tiket bersubsidi, sementara penduduk luar harus bayar tiket harga penuh. 

Cara memilahnya mudah. Dua digit pada setiap NIK mengindikasikan domisili pemiliknya, propinsi hingga kelurahan, sehingga yang bukan penduduk Jabodetabek terdeteksi untuk disingkirkan. 

Penumpang KRL selama ini banyak sekali yang tinggal, misalnya, di Tangerang Selatan, Karawang, bahkan Rangkasbitung, Pandeglang (Banten). Penerapan NIK membuat hanya penduduk Jakarta yang terlewati jalur KRL, juga sebagian penduduk Tangerang, Bekasi, Bogor, Depok yang mendapat tarif subsidi PSO.  

Sementara penduduk Tangerang Selatan, misalnya, atau penduduk Pandeglang, Banten, bahkan juga penduduk Karawang karena NIK-nya beda, bayar tiketnya lebih mahal. 

Kebijakan pemisahan ini akan membuat warga Sukabumi dan warga Bogor, misalnya, waktu berbarengan membeli tiket KRL di stasiun Pasar Minggu, tarif tiketnya berbeda. Warga Sukabumi kena tarif non-PSO yang lebih mahal. 

Menurut juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, kebijakan penggunaan NIK masih dalam pembahasan, belum akan diterapkan karena akan melalui diskusi publik dulu. Juga akan dibahas, apakah NIK-nya akan menggunakan NIK dari Ditjen Kependudukan dan Cacatan Sipil (Dukcapil) atau NIK dari Kementerian Sosial. *

Baca Juga: Mobil Listrik “Mengempaskan” Mobil Konvensional

Oleh:

Share

Leave a Comment

Majalah Lintas Official Logo
Majalahlintas.com adalah media online yang menyediakan informasi tepercaya seputar dunia infrastruktur, transportasi, dan berita aktual lainnya, diterbitkan oleh PT Lintas Media Infrastruktur.
Copyright © 2023, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.