Home Profil Yeremia Mendröfa: Politik Hati yang Tak Pernah Lelah Melayani

Yeremia Mendröfa: Politik Hati yang Tak Pernah Lelah Melayani

Share

Di tengah gemuruh politik Indonesia yang kerap diwarnai intrik, sosok Dr Yeremia Mendröfa, ST, MM, MBA, PMP muncul bagai oase. Politisi tiga periode sebagai anggota DPRD Banten ini menawarkan wajah berbeda: politik yang tak berpusat pada kekuasaan, melainkan pada kesediaan untuk terus mendengar. Dalam kariernya yang telah melintasi satu dekade, ia konsisten membuktikan bahwa kursi dewan bukanlah takhta, melainkan posisi pengabdian.

Apa yang membuat Yeremia istimewa bukanlah pencapaian akademisnya sebagai doktor ekonomi, bukan pula lamanya ia berkecimpung di dunia politik. Keistimewaannya terletak pada konsistensinya menjadikan setiap ruang—mulai dari gedung DPRD hingga akar rumput—sebagai ruang dialog dengan rakyat. Bahkan, keberadaan media sosial dijadikan sebagai ruang menyapa konstituennya. Inilah potret langka seorang wakil rakyat yang memahami bahwa esensi politik terletak pada pelayanan.

Bagi Yeremia, politik dimulai dari telinga, bukan mulut. Ketika banyak politisi sibuk berorasi di mimbar, ia memilih menghabiskan waktunya untuk blusukan. Rutinitasnya meliputi kunjungan ke komunitas-komunitas, daerah-daerah terpencil di Banten, duduk lesehan dengan warga, dan mendengarkan keluhan mereka. 

“Tak ada gunanya jadi wakil rakyat jika tak tahu denyut kehidupan rakyatnya,” ujarnya kepada Lintas.

Pendekatannya ini bukan tanpa alasan. Sebagai anak kelahiran Nias tahun 1976 yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Banten, Yeremia paham betul kompleksitas masalah di daerah ini. Ia menyadari bahwa solusi sesungguhnya sering kali datang dari bawah, bukan dari ruang rapat ber-AC.

Media Sosial

Komitmennya pada komunikasi langsung ini bisa dilihat di dunia digital. Media sosialnya bukan sekadar alat kampanye, melainkan ruang interaksi yang hidup. Setiap hari, warganet bisa menemukannya, membalas komentar, menanggapi keluhan, atau sekadar menyapa dengan bahasa yang santun dan egaliter.

Latar belakang akademis Yeremia sebagai doktor ekonomi dengan spesialisasi pembangunan berkelanjutan dari Universitas Trisakti memberinya perspektif unik. Ia tak terjebak dalam retorika politik kosong, melainkan mendasarkan setiap kebijakan pada analisis mendalam dan data konkret.

Pengetahuannya ini ia terjemahkan menjadi program-program nyata. Di Komisi V DPRD Banten yang membidangi kesejahteraan rakyat, Yeremia menjadi motor penggerak berbagai inisiatif progresif. Ia paham bahwa pembangunan bukan sekadar tentang infrastruktur fisik, melainkan tentang manusia seutuhnya.

Salah satu fokus utamanya adalah pendidikan. Data yang ia kumpulkan menunjukkan masalah serius: angka partisipasi sekolah menengah di Banten hanya 69 persen, dengan rata-rata lama sekolah 9,2 tahun. Artinya, sebagian besar anak Banten tak menikmati pendidikan hingga SMA.

Menyikapi ini, Yeremia tak hanya berhenti pada kritik. Ia merancang program konkret seperti pendampingan bagi masyarakat di berbagai tempat dengan berbagai permasalahan.

Khususnya di pendidikan, ia mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dalam membangun gedung sekolah. 

Bahkan, pada Kebijakan Umum Anggaran Program prioritas sementara untuk tahun 2025 dialokasikan lebih kurang Rp 600 miliar membangun unit sekolah,  menambah ruang-ruang kelas baru. 

“Juga pemeliharaan sekolah-sekolah yang ada termasuk di dalamnya berkaitan dengan penyediaan alat-alat sekolah,” ujar lulusan S-2 dari Swiss German University ini. 

Perjuangan di Bidang Kesehatan

Sektor kesehatan menjadi perhatian lain Yeremia. Dengan teliti ia memetakan masalah mendasar Banten: tingginya angka stunting (37,2 persen pada 2021), kematian ibu melahirkan, dan ketimpangan akses layanan kesehatan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Di bawah kepemimpinannya, Komisi V DPRD Banten mengawal program-program spesifik, seperti penguatan posyandu, pemerataan tenaga kesehatan, dan edukasi gizi bagi keluarga prasejahtera. “Kesehatan adalah hak dasar. Tak boleh ada warga Banten yang mati karena ketiadaan akses,” tegasnya dalam suatu rapat kerja.

Yang membedakan pendekatan Yeremia adalah kemampuannya menjembatani kebijakan makro dengan realita mikro. Ia tak puas hanya melihat angka-angka statistik. Baginya, setiap data mewakili wajah-wajah manusia yang harus disentuh langsung.

Sebagai ekonom, Yeremia paham betul bahwa pertumbuhan GDP tak berarti apa-apa jika tak dirasakan oleh pedagang kecil di pasar tradisional. Karena itu, ia menjadi pendorong kuat program pemberdayaan UMKM di Banten.

Salah satu capaian pentingnya adalah penyusunan peraturan daerah tentang perlindungan dan pengembangan UMKM. Perda ini menjadi payung hukum bagi berbagai program pelatihan, akses permodalan, dan pemasaran produk lokal.

“Ekonomi kerakyatan bukan sekadar jargon,” katanya kepada Lintas. “Ia harus terwujud dalam keputusan politik yang membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi ketergantungan pada pihak lain.”

Tak mengherankan, Yeremia terus bergerak ke bawah untuk memberi pendampingan kepada UMKM. Bagi dia, bertemu dengan warga tidak harus di ruang gedung. Namun, memanfaatkan lahan kosong, tikar digelar, ia lesehan bersama warga dengan camilan dan minuman ala kadarnya, itu sudah cukup baginya. 

Tak jarang juga di sela-sela waktu serius menyampaikan paparan, ia melontarkan sejumlah guyon. Bahkan, acapkali ia menyanyi bersama ibu-ibu dan anak-anak, lalu  ia rekam dan diunggah di akun medsosnya. 

“Ini sekadar berbagi kebahagiaan dan sukacita,” ujarnya di sebuah video di akun media sosialnya.

Filosofi

Filosofi kepemimpinan Yeremia bisa dirangkum dalam satu kalimat sederhana: “Pemimpin sejati ada untuk melayani, bukan dilayani.” Prinsip ini ia buktikan dalam keseharian.

Dari beberapa siniar di media sosial, menceritakan bagaimana Yeremia selalu menyapa dan memberikan senyum duluan kepada siapa pun yang ditemuinya. 

Meski sudah menjadi Ketua Komisi, ia tetap rendah hati dan terbuka terhadap kritik. “Tak ada ide bodoh dalam pelayanan publik,” begitu mottonya.

Keterbukaannya juga terlihat dalam cara ia menerima masukan dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari akademisi, LSM, hingga kelompok marginal—semua mendapat tempat sama di meja dialognya.

Bicara soal politik, Yeremia memandang dunia politik sebagai ruang pendidikan publik. Setiap kebijakan yang ia perjuangkan selalu disertai penjelasan rasional dan edukasi kepada masyarakat.

Yeremia percaya bahwa masyarakat yang teredukasi akan menjadi partner aktif dalam pembangunan, bukan sekadar penerima pasif program pemerintah. Karena itu, tak jarang ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menjelaskan suatu kebijakan kepada warga yang belum paham.

Keluarga sebagai Fondasi

Di balik sosoknya sebagai politisi, Yeremia adalah ayah bagi Joves Alvaro Mendröfa dan Keisha Anabel Mendröfa. Keluarga menjadi sumber inspirasi sekaligus pengingat akan tanggung jawabnya. 

Pesan orangtuanya dari Nias selalu ia pegang: “Jadilah manusia yang berguna, bukan yang berkuasa.”

Nilai-nilai keluarga inilah yang membentuk karakternya yang egaliter dan bersahaja. Meski sibuk, ia selalu menyempatkan waktu untuk keluarga, karena meyakini bahwa keteladanan dimulai dari rumah.

Peran istrinya, yang juga berasal dari suku Nias, tak pernah ia kecilkan. Di balik kesuksesannya menuju puncak karier, ada istri yang setia mendukung dan menginspirasinya.

Bersama keluarga. | Dokumen Pribadi

Memasuki periode ketiganya (2024-2029), Yeremia menghadapi tantangan baru. Ekspektasi masyarakat semakin tinggi, sementara kompleksitas masalah pembangunan semakin dalam.

Namun, ia menyambut ini dengan semangat baru. Agenda prioritasnya mencakup percepatan penanganan stunting, peningkatan kualitas pendidikan vokasi, dan penguatan ekonomi desa. “Tiga periode bukan untuk berpuas diri, tapi untuk bekerja lebih keras,” ujarnya saat pelantikan.

Kisah Yeremia Mendröfa menawarkan narasi segar tentang politik Indonesia. Di tangannya, kekuasaan bukan tujuan, melainkan sarana untuk memanusiakan manusia.

Dalam dunia yang sering kali sinis terhadap politik, Yeremia membuktikan bahwa idealisme dan integritas bukanlah hal mustahil. Karier panjangnya menunjukkan bahwa politik bisa menjadi jalan mulia—asal dijalani dengan hati yang tulus dan tangan yang bersih.

Seperti kata bijak: “Hanya ikan mati yang mengikuti arus.” Yeremia memilih menjadi ikan hidup—berenang melawan arus politik transaksional, dengan kompasnya yang tak pernah berubah: pelayanan kepada rakyat.

“Kekuasaan itu sementara, tapi dampak baik yang kita tinggalkan akan abadi.” — Yeremia Mendröfa. (HRZ)

Baca Juga: Tambos Martahan Nainggolan: Tim Solid adalah Kunci

Share

ARTIKEL TERKAIT