Home Berita Penanganan ODOL Harus Sasar Pemilik Barang dan Armada, Bukan Cuma Sopir

Penanganan ODOL Harus Sasar Pemilik Barang dan Armada, Bukan Cuma Sopir

Share

JAKARTA, LINTAS – ODOL atau Over Dimension Over Load masih jadi drama klasik di jalanan Indonesia. Tiap tahun ramai dibahas, tapi tak kunjung tuntas. Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah cuma menindak sopir, sementara pemilik barang dan pemilik armada seolah kebal hukum?

Menurut Muhammad Akbar, Pemerhati Transportasi, selama ini penegakan hukum ODOL terlalu fokus ke hilir, yaitu sopir truk. Padahal akar masalahnya ada di hulu, yakni para pemilik barang yang memaksakan muatan berlebih demi menekan biaya logistik.

“Jangan hanya sopir yang dijadikan tumbal. Pemerintah harus berani menyasar pemilik barang dan pemilik armada kalau mau ODOL benar-benar selesai,” kata Akbar, Minggu (29/6/2025).

Demo sopir truk yang belakangan marak terjadi, menurut Akbar, bukan semata penolakan aturan. “Itu adalah puncak gunung es dari ketidakadilan sistem logistik kita,” ujarnya. Sopir truk sering dianggap sebagai biang kerok, padahal mereka hanya menjalankan perintah.

“Mereka enggak punya kuasa menolak muatan berlebih. Kalau menolak, bisa kehilangan pekerjaan,” imbuh Akbar.

Masalah ODOL sebenarnya sudah menahun. Truk kelebihan muatan berkeliaran seolah sah-sah saja. Akibatnya, jalan rusak parah, angka kecelakaan meningkat, dan biaya perbaikan infrastruktur membengkak. Data Kementerian PUPR mencatat, tiap tahun negara harus merogoh kocek hingga Rp40 triliun hanya untuk memperbaiki jalan rusak akibat ODOL.

“Itu angka yang luar biasa besar. Bayangkan kalau dipakai buat pendidikan atau kesehatan,” tutur Akbar.

Salah satu biang keladi ODOL, lanjut Akbar, ada di sistem pengawasan yang lemah. Banyak karoseri masih bebas memodifikasi truk melebihi ukuran standar, bahkan lolos uji KIR.

Baca Juga: Naik KRL di Tanah Abang? Ini Perubahan Jalur dan Pola Operasi Perjalanan Terbarunya

“Data bisa dimanipulasi, surat-menyurat bisa diurus, uji KIR bisa disiasati. Ini masalah struktural yang enggak bisa selesai cuma dengan razia,” ungkapnya.

Akbar menyebut, pemilik barang dan pemilik armada punya tanggung jawab besar. Mereka yang menentukan muatan, bukan sopir. “Kalau pemilik barang bilang bawa dua kali muatan, sopir enggak berdaya. Nah, siapa yang harusnya ditindak?” tegasnya.

Solusi ODOL, kata Akbar, enggak cukup lewat razia di jalan. Pemerintah harus menyentuh para pengambil keputusan di balik layar. “Pemilik barang, pemilik truk, bahkan karoseri, harus ditertibkan. Kalau tidak, ODOL akan terus jadi drama tahunan,” jelasnya.

Digitalisasi Sistem Logistik

Ia juga mendorong digitalisasi sistem logistik, seperti yang dilakukan Jepang dan Korea Selatan. “Di Jepang, semua kendaraan barang terhubung ke sistem digital yang melacak muatan dan perjalanan. Kalau ada kelebihan muatan, langsung terdeteksi. Korea pun sama. Itu yang harus kita contoh,” ujar Akbar.

Dengan sistem digital, pemerintah bisa memantau dari titik muat hingga bongkar. Pelanggaran bisa terdeteksi sebelum truk ODOL meluncur ke jalan. “Kalau masih pakai cara konvensional, ya ujung-ujungnya sopir lagi yang kena,” katanya.

Akbar menegaskan, sudah saatnya pemerintah bertindak tegas. “Keadilan bukan soal semua diperlakukan sama, tapi soal siapa yang paling bertanggung jawab. Jangan cuma sopir yang dijadikan kambing hitam,” pungkasnya.

Selama akar masalah ODOL tak disentuh, kerusakan jalan dan kecelakaan bakal terus menghantui. “Kalau pemerintah sungguh mau bereskan ODOL, ya harus berani sentuh pemilik barang dan pemilik armada. Bukan cuma razia sopir di jalan,” tutup Akbar dengan nada serius. (GIT)

Share