JAKARTA, LINTAS – Kebijakan larangan kendaraan angkutan barang sumbu tiga atau lebih melintasi jalur nasional Pemalang–Batang menuai protes keras dari pelaku industri logistik. Aturan yang mulai berlaku efektif per 1 Mei 2025 itu dianggap tak hanya menghambat distribusi barang, tapi juga berdampak serius terhadap roda ekonomi nasional.
Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO), Gemilang Tarigan, menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan berpotensi merugikan banyak pihak.
“Larangan ini tidak melalui analisis dampak yang terbuka dan bisa berdampak sangat besar terhadap dunia usaha, bahkan potensi kerugiannya mencapai Rp324 miliar per tahun,” kata Gemilang, dalam surat terbuka kepada Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, dikutip Senin (26/5/2025).
APTRINDO menyebut, kebijakan ini melanggar sejumlah undang-undang, seperti UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Selain itu, hingga kini belum ada publikasi resmi terkait Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) sebagai landasan pengambilan kebijakan.
Lebih jauh, surat dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat yang menjadi dasar rekomendasi kebijakan, hanya bersifat administratif dan bukan regulasi yang mengikat.
Pukul Sektor UMKM dan Potensi PHK
Tak hanya merugikan pengusaha logistik, larangan ini juga menghantam sektor UMKM yang selama ini bergantung pada lalu lintas kendaraan berat. Warung makan, SPBU, hingga bengkel di sepanjang jalur nasional diprediksi akan kehilangan pelanggan.
Menurut perhitungan APTRINDO, jika rata-rata 3.000 unit truk sumbu tiga melintas setiap hari, potensi kerugian ekonomi akibat kenaikan biaya tol dan perawatan kendaraan bisa mencapai Rp27 miliar per bulan atau Rp324 miliar per tahun. Kondisi ini juga berisiko menimbulkan PHK terhadap 500–1.000 tenaga kerja di sektor pendukung logistik.
Kebijakan pemerintah daerah yang mengarahkan kendaraan berat ke jalan tol pun dianggap bukan solusi ideal. Rute tol yang lebih panjang dan tidak ramah pengemudi—karena minimnya area istirahat—justru bisa menambah kelelahan dan meningkatkan risiko kecelakaan.
“Kami melihat ini sebagai penyelesaian masalah yang justru menciptakan masalah baru. Jalan tol bukan solusi murah dan aman bagi semua,” tegas Gemilang.
APTRINDO meminta pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perhubungan, untuk segera mencabut surat rekomendasi larangan tersebut. Mereka juga mendesak agar kebijakan transportasi disusun secara menyeluruh dan adil, bukan berdasarkan tekanan lokal atau desakan kelompok tertentu.
Baca Juga: Progres Jalan Tol Akses Patimban Subang Capai Tahap Konstruksi, Bakal Tersambung ke Cipali
“Kami berharap ada dialog terbuka antara pemerintah dan pelaku usaha. Kebijakan sepihak tanpa keterlibatan stakeholder hanya akan memperburuk iklim usaha nasional,” pungkas Gemilang.
Dampak Domino Jika Dibiarkan
Gemilang memperingatkan, jika kebijakan seperti ini dibiarkan dan diikuti oleh daerah lain, maka sistem transportasi nasional akan terpecah-pecah. Padahal, jalan nasional adalah fasilitas publik yang seharusnya bebas diakses oleh seluruh warga negara secara setara.
APTRINDO menekankan bahwa kebijakan ini tidak hanya diskriminatif, tetapi juga berpotensi memecah rasa persatuan antar pengguna jalan. (GIT)





