Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, paling tidak sudah membangun bendungan sebanyak 61 unit. Namun, jauh sebelumnya, pada masa kolonial Belanda, di Indonesia sudah dibangun bendungan pertama pada tahun 1911, dikutip dari Ayobandung.com (31/8/2024).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2015 Tentang Bendungan, adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, dan beton, yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang, atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk. Sementara, waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan.
Sederhananya, bendungan adalah sebuah struktur yang dibuat oleh manusia untuk menahan dan menampung air sehingga membentuk suatu tampungan air atau waduk.
Bendungan dibangun dengan beberapa fungsi, yakni untuk menahan dan menampung air, pengendali bencana, sumber air bersih bagi masyarakat, irigasi pertanian, dan juga sebagai pembangkit listrik.
Dari ratusan bendungan yang telah dibangun di Indonesia yang terbesar ialah Bendungan Jatiluhur. Lalu, apa yang membuat Bendungan Jatiluhur mendapat predikat tersebut?
Sejarah
Bendungan Jatiluhur terletak di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Dibangun mulai tahun 1957 dan diresmikan pada 1967. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Presiden Soekarno dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967, dikutip dari berbagai sumber.
Gagasan pembangunan bendungan di Sungai Citarum sudah muncul pada abad ke-19. Bahkan, pengukuran debit Sungai Citarum untuk keperluan bendungan ini telah dimulai pada tahun 1888, dikutip dari Purwakartakab.go.id. Namun, gagasan pembangunan ini tidak berlanjut karena berbagai alasan.
Gagasan pembangunan ini kemudian dirintis kembali pada tahun 1950-an. Saat itu, Indonesia sudah menjadi pengimpor besar terbesar di dunia. Menyikapi hal ini, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kepala Jawatan Irigasi kala itu, Agus Prawiranata, menilai pembangunan bendungan untuk irigasi merupakan solusi untuk mengantisipasi kebutuhan beras Indonesia.
Ini berarti, pembangunan Bendungan Jatiluhur didorong oleh terjadinya peningkatan populasi, yang berakibat meningkatnya kebutuhan pangan dan listrik, baik untuk rumah tangga maupun industri.
Dengan demikian, keputusan Pemerintah Indonesia untuk melakukan pembangunan bendungan besar di utara Provinsi Jawa Barat merupakan langkah antisipasi terhadap kebutuhan pangan dan listrik yang meningkat tersebut.
Akan tetapi, saat itu Pemerintah Republik Indonesia belum memiliki uang sehingga gagasan pembangunan bendungan dengan skala besar menjadi bahan tertawaan.
Tidak menyerah, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya hingga akhirnya pembangunan Bendungan Jatiluhur, yang dirancang oleh kontraktor ternama dari Perancis, Compagnie Française d’entreprise, dikutip dari traveloka.com, dapat terlaksana.
Pada awalnya, Bendungan Jatiluhur dirancang memiliki kapasitas tampungan 3 milyar kubik, tetapi saat ini tinggal 2,44 milyar kubik, berdasarkan hasil pengukuran batimetri tahun 2000. Penurunan kapasitas ini terjadi akibat sedimentasi. Keadaan berubah pasca dibangunnya Bendungan Saguling dan Cirata di atasnya, laju sedimentasi menjadi menurun, dikutip dari Purwakartakab.go.id.
Sementara itu, pembangunan Bendungan Jatiluhur yang berlangsung selama 10 tahun ini menelan biaya US$ 230 juta, dikutip dari Sinbad.sda.pu.go.id.
Hasil pembangunan Bendungan Jatiluhur membentuk Waduk Jatiluhur dengan genangan seluas kira-kira 83 kilometer persegi atau 8.300 hektar dan keliling waduk 150 kilometer pada elevasi muka air normal 107 meter di atas permukaan laut (dpl).
Luas genangannya itulah yang membuat Waduk Jatiluhur, yang dikelola oleh BUMN Perum Jasa Tirta (PJT) II, disebut sebagai bendungan terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.

Adapun Waduk Jatiluhur tercipta dari pembendungan aliran Sungai Citarum, yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat, dengan luas daerah aliran sungai adalah 4.500 kilometer persegi.
Untuk diketahui, pada awal pembangunannya, genangan yang terjadi akibat pembangunan Bendungan Jatiluhur menenggelamkan 14 Desa dengan penduduk berjumlah 5.002 orang. Mengakibatkan para penduduk tersebut pindah ke daerah sekitar bendungan dan sebagian lainnya pindah ke Kabupaten Karawang, dikutip dari berbagai sumber.
Mengairi 242.000 Hektare Lahan Pertanian
Sejak awal pembangunannya, Bendungan Jatiluhur dimaksudkan sebagai bendungan serbaguna. Di antaranya, berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pengairan irigasi, pengendali banjir (Kabupaten Karawang dan Bekasi), dan sebagai penyedia air baku untuk industri.
Untuk memproduksi listrik sekitar 2.700 Kilowatt per hour (KWh) setiap harinya, di Waduk Jatiluhur dipasang 6 turbin dengan daya 187,5 Mega-Watt. Lalu, sebagai pemasok air irigasi, Waduk Jatiluhur mengairi lahan seluas 242.000 hektar.

Dalam perkembangannya, Waduk Jatiluhur mengalami perluasan fungsi, yakni menyediakan fungsi pariwisata dengan tersedianya fasilitas rekreasi seperti hotel, bungalow, restoran, playground, ruang pertemuan, dan sarana rekreasi dan olahraga keairan lainnya.
Selain itu, Waduk Jatiluhur juga difungsikan sebagai tempat budidaya ikan keramba jaring apung, dikutip dari Kompas.com (12/1/2022). Perluasan fungsi ini menjadikan Bendungan Jatiluhur juga membawa manfaat dalam peningkatan ekonomi masyarakat.
Patut disyukuri, meski awalnya mengalami berbagai kendala seperti ketiadaan dana pemerintah dan juga terjadinya peristiwa G-30 S PKI, yang mengakibatkan para tenaga ahli asing yang mengerjakan pembangunan bendungan ini pulang ke negaranya, pembangunan Bendungan Jatiluhur akhirnya dapat terlaksana.
Juga, Bendungan Jatiluhur yang sejak semula dimaksudkan untuk menopang ketahanan pangan Indonesia dan memasok air bersih masih terus berfungsi hingga saat ini. Bahkan, menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Waduk Jatiluhur merupakan satu-satunya sumber pasokan air bersih DK Jakarta.
“Maka dari itu kami sedang siapkan tambahan SPAM Jatiluhur ini sebanyak 16.000 meter kubik per detik,” kata Basuki, dikutip dari Finance.detik.com (16/7/2023).
Keberadaan Bendungan Jatiluhur sangat penting bagi Purwakarta dan daerah sekitarnya, bahkan DK Jakarta. Karena itu, upaya pelestarian harus terus dilakukan agar bendungan ini dapat terus berfungsi untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Upaya pelestarian penting, mengingat Sungai Citarum sebagai sumber air Waduk Jatiluhur pernah masuk kategori sangat tercemar dan dianggap sebagai salah satu sungai terkotor di dunia pada tahun 2018. Namun, pada tahun 2023, revitalisasi terhadap Sungai Citarum telah memulihkan kualitas air Sungai Citarum, bahkan indeks kualitas airnya terus meningkat. (MSH)
Baca Juga: Setelah 7 Tahun, Pembangunan Bendungan Temef di NTT Selesai
1 comment
Selain fungsi diatas bendungan Jatiluhur juga menjadi tempat rekreasi warga sekitar dan kota2 disekitarnya bahkan dari luar provinsi yg tentunya memberikan kontribusi bagi warga sekitar untuk menambah mata pencaharian dalam berbagai pelayanan terhadap pelancong.