Home Fitur Abai dan Alih Fungsi Lahan Penyebab Banjir Sumatera

Abai dan Alih Fungsi Lahan Penyebab Banjir Sumatera

Share

Banjir bandang disertai longsor di Pulau Sumatera, yang melanda 3 provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, baru-baru ini menyisakan berbagai persoalan terkait rusaknya lingkungan. Ini jelas ulah manusia yang abai terhadap sistem dan pengalihan fungsi hutan yang dilakukan secara masif.

Material kayu log/gelondongan dalam jumlah yang sangat besar yang terseret bersama banjir telah banyak menelan korban jiwa dan kerusakan harta benda penduduk serta kerusakan lingkungan dan fasilitas umum.

Tidak dapat dimungkiri, penyebab kayu log yang terseret bersama banjir lebih banyak disebabkan oleh deforestasi maupun alih fungsi lahan dari area hutan menjadi nonhutan seperti perkebunan, tambang dan peruntukan lainnya, baik secara legal maupun pembalakan liar.

Kondisi ini diperparah oleh cuaca berupa siklon tropis Senyar. Pertemuan antara siklon Senyar dan perilaku merusak dari manusia menghasilkan bencana yang begitu dahsyat.

Mayoritas ke sawit

Sebagai gambaran, data Kompas, Jumat (12/12/2025), deforestasi di wilayah terdampak bencana, sepanjang kurun waktu 34 tahun (1990-2024) mencapai 1,2 juta hektar. Dalam setahun terjadi deforestasi rata-rata 36.305 ha/tahun atau 99,46 ha/hari.

Luasan hutan yang hilang itu setara dengan 139 lapangan sepak bola per hari. Pada 1990 luas hutan di ketiga provinsi tersebut mencapai 9,49 juta hektar menyusut menjadi 8,26 juta hektar pada 2024.

Alih fungsi lahan meliputi lahan sawit seluas 690.777 hektar; tambang 2.160 ha, perkotaan 9.666 ha. Kemudian Hutan Tanaman Industri (HTI): 69.733 ha; Lain-lain (pertanian, mangrove, karamba): ±1 juta ha. Pengalihan hutan menjadi kebun sawit mendominasi. Kompas melaporkan, Sumut seluas 354.865 ha (70 persen); Sumbar 176.330 ha; Aceh: 159.581 ha.

Sangat mungkin deforestasi yang dilakukan secara masif dilakukan oleh korporasi dengan peralatan berat dan modern bukan perseorangan. Umumnya deforestasi marak terjadi di area konsesi yang luasnya ribuan hektar. Ini artinya telah memperoleh izin resmi secara legal dari pemerintah.

Pada tahap perencanaan, sebelum proses perizinan diterbitkan tentu pihak berwenang memiliki dokumen kriteria terkait kelayakan suatu lokasi memenuhi syarat untuk alih fungsi lahan. 

Tangkapan layar berita Kompas.id.

Area pegunungan Bukit Barisan memiliki wilayah dengan kondisi bentang alam dan kemiringan lereng yang sangat curam. Identik dengan bentuk huruf V. Dengan kondisi ini tentu tidak layak untuk dialih fungsikan dari kawasan hutan menjadi nonhutan. Sebab, berisiko mudah terjadi longsor, terlebih lagi bila kondisi struktur tanah tergolong rapuh terhadap pergerakan tanah. 

Sebagaimana diketahui di bagian barat Sumatera merupakan daerah rawan gempa tektonik. Ini terus mengakumulasi energi dan melepaskannya setiap saat sehingga pengaruh gempa yang berulang akan menimbulkan keretakan-keretakan dalam struktur tanah. Keretakan inilah yang membuat tanah tidak lagi stabil dan memicu terjadinya longsor secara masif.

Izin Lingkungan

Setiap pemegang konsesi dalam hal ini korporasi, sebelum memperoleh izin lingkungan termasuk izin usaha harus memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Termasuk RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan), dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) yang disetujui. Dokumen-dokumen menjadi dasar penerbitan Izin Lingkungan, yang merupakan prasyarat untuk izin usaha.     

Setelah mengantongi izin, pemilik konsesi wajib memenuhi rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan peruntukan lahan yang telah ditetapkan pemerintah. Aspek lingkungan merupakan pengawasan krusial bagi pemilik konsesi antara lain upaya melakukan konservasi. Hal guna mencegah erosi dan longsor serta, menjaga tata air dan kesuburan tanah. Dalam hal pengelolaan dampak lingkungan, pemilik konsesi wajib melakukan upaya mitigasi sesuai dengan dokumen amdal atau izin lingkungan yang dimiliki.

Dengan berbekal dokumen lingkungan yang dimiliki kemudian ditindaklanjuti dengan pengawasan dan pemantauan secara periodik tentunya hasil deforestasi berupa kayu-kayu log dapat dikelola sebagaimana mestinya tanpa harus berserakan sehingga terseret oleh aliran air yang dipicu oleh hujan ekstrem.

Faktor-faktor pemicu di atas perlu menjadi perhatian semua pihak, bahwa pengabaian terhadap sistem, baik sistem alam maupun buatan manusia, dapat berakibat fatal seperti yang terjadi di bencana banjir Sumatera maupun daerah lainnya (MAL/HRZ)

Baca Juga: Banjir Sumatera, Bencana Ekologis akibat Deforestasi Masif

Share