Lintas – Bangunan hijau (green building) memiliki sejumlah kriteria. Berbagai lembaga atau organisasi dapat memiliki paradigma tersendiri untuk menentukan kriteria yang dimaksud. Alhasil, kriteria green building bisa bervariasi.
Sejumlah bangunan di Indonesia telah mencoba mengadopsi konsep green building. Perkantoran, apartemen, pusat-pusat perbelanjaan telah menerapkan sesuatu yang ‘hijau’ Tapi, apakah sekadar ‘hijau’ sudah cukup dikatakan green building?
Hijau memang ‘menjual’
Mengutip laman situs www.archdaily.com, istilah ‘hijau’ masih sulit didefinisikan secara baku. Terlebih bila istilah ‘hijau’ dikorelasikan dengan arsitektur.
Ironisnya, istilah ‘hijau’ sendiri justru dimanfaatkan untuk keperluan promosi. Artikel berjudul “Architecture in Tune With the Climate” di New York Times menyatakan, hubungan proyek dengan istilah ‘hijau’ mampu membuat sebuah proyek laku di pasaran. Hal identik juga terjadi di Indonesia. Banyak bangunan yang hanya menyediakan taman dan tanaman dalam jumlah besar demi mencapai kata ‘green’ tersebut.
Kriteria bangunan hijau
Sebenarnya, ada berbagai kriteria yang bisa dijadikan patokan dalam membangun dan menilai green building. Melansir laman situs https://gbcindonesia.org, Green Building Council Indonesia (GBCI) mengungkapkan kriteria green building. Kriteria tersebut adalah tata guna lahan, efisiensi energi, bahan ramah lingkungan, konservasi air, kualitas udara indoor, dan manajemen sampah.
Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengembangkan sistem pemeringkatan (rating) guna mendorong pembangunan green building. Berbeda dengan GBCI, Kementerian PUPR mengembangkan sistem pemeringkatan bangunan hijau yang bersifat open source.
Tambah pula, landasan hukum green building pun telah ada, yakni Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau. Sejumlah variabel yang menjadi bagian penilaian antara lain efisiensi; keamanan; kesehatan; kenyamanan; ramah lingkungan; hemat energi dan air; dan sumber daya lainnya.
Pemeringkatan BGH oleh Kementerian PUPR menjadi rujukan dalam penerbitan Sertifikat Bangunan Gedung Hijau (BGH). Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 juga memuat ketentuan tentang Sertifikasi BGH. Ada tiga tingkatan dalam peringkat BGH, yakni BGH Pratama, BGH Madya, dan BGH Utama.
Beberapa pemerintah provinsi (pemprov) juga menerapkan kriteria bangunan hijau. Salah satunya adalah Pemprov DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau. Regulasi ini mengatur penerapan konsep hemat energi dan ramah lingkungan dalam bangunan gedung. Lalu, ada pula Peraturan Walikota (Perwali) 1023 BGH Bandung yang juga mengatur tentang green building.
Meski kriterianya bervariasi, landasan hukum mengenai bangunan hijau diperlukan guna mendorong penerapan green building. Dengan begitu, green building tak sekadar ‘hijau’, melainkan memiliki kriteria lebih jelas. (SA)
Baca juga:
Penerapan Konsep Green Building pada Gedung Utama Kementerian PUPR
Indonesia Kembangkan Green dan Smart Port, Apa Saja Manfaatnya?