Bumi berguncang. Orang-orang bergegas menjauhi bibir pantai Teluk Palu. Feryan Alfriyanto adalah salah satunya. Dia memacu mobilnya, menjauh dari Jembatan Kuning. Kraak…bumm!!!! Suara gedebum memekakkan telinga. Feryan melirik ke kaca spion. Di belakangnya, jembatan kuning kebanggaan warga lenyap. Runtuh ke dalam Sungai Palu.
Pengujung September 2018 adalah akhir bulan yang sibuk bagi Kota Palu. Ibu kota Sulawesi Tengah itu terpilih sebagai tuan rumah hajatan internasional: Hari Kota Dunia dan Hari Habitat Dunia. Perhelatan tersebut berkelindan dengan “pesta” lokal, Festival Teluk Palu dan Festival Palu Nomoni. Keduanya dihelat dalam rangka hari jadi Kota Palu ke-40.
Seluruh keriaan berpuncak di hari Jumat, 28 September 2018. Rian, begitu Feryan disapa, ikut terhisap ke dalam pusaran kesibukan tersebut. Dia bekerja di Satuan Kerja prasarana permukiman wilayah, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Sulawesi Tengah.
Ditjen Cipta Karya ikut meramaikan perhelatan akbar itu. Sebuah stan pameran telah didirikan untuk itu, berlokasi di sebuah anjungan di pantai. Sejak 25 September, tim dari Jakarta juga telah tiba, bergabung dengan para karyawan lainnya yang ada di Sulteng.
Sebagai pegawai Humas dan Protokoler, Rian ditugaskan untuk ikut mengelola stan. “Saya juga harus meliput karena di Humas, saya di bagian publikasi. Sayalah yang akan memasukkan berita-berita pameran ke situs dan media lainnya di Ditjen Cipta Karya,” ujar Rian kepada Majalah Lintas, akhir Januari lalu.
Gempa kecil
Rian mengisi hari Jumat dengan bolak-balik kantor, venue pameran, dan hotel tempat menginap tim dari Jakarta. Siang hari, dia kembali ke kantor untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan. Sekitar pukul 15.00 Wita, dia tengah tenggelam dalam pekerjaan di mejanya ketika segala benda dia rasakan bergoyang.
Gempa. Kecil saja. Juga tak lama. “Kami masih menganggapnya biasa. Jadi kami santai saja,” ujar Rian mengenang,
Maka, Rian kembali terhanyut meneruskan pekerjaannya. Apalagi, sejumlah kegiatan masih menanti. Dia harus kembali ke stan pameran untuk menjemput rekan-rekan dari Jakarta. Mereka akan dia antarkan ke hotel tempat menginap yang baru.
Pekerjaan di kantor selesai, Rian pamit kepada atasannya, kepala Satuan Kerja Prasarana Pemukiman Wilayah dan bergegas ke venue pameran.
Tiba di lokasi, Rian memarkir kendaraannya tidak terlalu dekat dengan stan pameran Ditjen Cipta Kerja. Ia memarkir mobilnya sangat dekat dengan kolong Jembatan Kuning. Jembatan Kuning atau Jembatan Palu IV merupakan salah satu ikon kebanggaan warga Palu. Infrastruktur sepanjang 250 meter itu melintasi dua sisi Sungai Palu, tepat di muaranya yang mengalirkan air ke Teluk Palu.
Jembatan berkonstruksi suspensi selebar 7,5 meter itu telah digunakan selama 12 tahun, sejak diresmikan pada 2006. Disebut Jembatan Kuning karena kedua busur baja yang mengangkangi lantai jembatan dari ujung ke ujung dicat warna kuning terang. Pagar baja jembatan juga dicat seluruhnya dengan warna yang sama.
Baru saja Rian memarkirkan mobilnya secara sempurna membelakangi sungai dan menarik rem tangan, dia merasakan kendaraannya diguncang-guncang. Guncangan itu tidak mengayunkan mobil seperti ombak yang mengolengkan kapal ke kiri dan kanan, tetapi seperti getaran dari mesin penghancur beton jalan.
“(Gempa) cenderung vertikal. Mobil seperti diangkat-angkat. Seperti terangkat,” kata Rian. Rian yang pernah mengikuti pelatihan satuan tugas tanggap darurat semula ragu jika gempa yang baru lewat bakal menimbulkan tsunami. “Gempanya cuma sebentar,” ujarnya.
Namun, mengikuti reaksi banyak orang yang lari menjauhi pantai untuk menghindari kemungkinan terjangan tsunami yang mungkin menyusul guncangan gempa, Rian tidak jadi keluar dari mobil. Alih-alih, mobil kembali dia hidupkan dan menggerakkannya ke jalan.
Jembatan lenyap
Dalam momen itulah dia sadar ternyata gempa belum usai. Kendaraannya sudah di jalan, mobil diayun horizontal. “Kayaknya, jalan sudah mulai kelihatan ada yang merekah sedikit,” tutur Rian mengingat kejadian.
Lalu seketika, terdengar suara keras membahana. Suara itu mengingatkan dirinya akan suara pohon besar—amat besar—yang tak kuat lagi ditopang bumi, jatuh berdentam ke tanah. Di hadapannya tak ada perubahan apapun yang bisa dia lihat, maka Rian mencoba melirik melalui kaca spion.
Alangkah kaget dirinya. Jembatan Kuning yang biasanya perkasa menjulang sama sekali tidak tampak. Dia lirik lagi melalui spion kiri, kembali ke spion kanan untuk meyakinkan diri. “Roboh Jembatan Kuning. Padahal, belum ada tsunami. Tsunami belum terdeteksi. Di bibir pantai juga belum terlihat tanda-tandanya,” ujar Rian.
Jalanan mulai dipadati kendaraan dan orang yang menyelamatkan diri. Sebagai anak, pertama yang Rian pikirkan adalah kedua orangtuanya di rumah. Mobil pun dia arahkan ke rumah, sekitar 8 kilometer jauhnya.
“Satu hal yang saya pahami di situasi seperti itu. Jangan panik. Kalau saya panik dan mobil saya tinggalkan untuk berjalan kaki. Pasti besoknya kerepotan untuk mencari teman-tempat Cipta Karya,” ujar dia. Sekitar tiga jam kemudian, Rian tiba di rumah.
Keesokan harinya dia kembali ke kota dan menyaksikan kerusakan yang tidak bisa dia bayangkan sebelumnya. Hotel yang disiapkan sebagai tempat menginap para tamu penting terbenam. Lantai dasarnya tak lagi terlihat, tertelan masuk ke dalam tanah. “Lantai dua jadi lantai satu. Padahal, lokasi hotel bukan daerah likuifaksi,” katanya.
Jumat 28 September 2018 itu, bencana besar menimpa Palu dan sekitarnya. Gempa magnitudo 7,4, disusul gelombang tsunami dan likuefaksi meluluhlantakkan bumi. Ribuan orang meninggal, ribuan lagi luka-luka. Puluhan hingga ratusan ribu lainnya harus mengungsi. Berbagai bangunan roboh, rusak. Bahkan, hilang tertelan bumi. Jalan dan jembatan lenyap. Jaringan komunikasi terputus. Aktivitas ekonomi lumpuh.
Mengenang masa-masa itu, Rian merasa diingatkan bahwa di dunia, kekuasaan manusia amatlah terbatas. Bersambung…. (PAH)