Jakarta, Lintas – Keberadaan Jalan Tol Trans-Jawa tidak serta merta menjadikan kendaraan berat beralih dari jalur Pantura Jawa ke Jalan Tol Trans-Jawa. Direktur Preservasi Jalan dan Jembatan Wilayah I, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Ir Akhmad Cahyadi, MEngSc dalam wawancara dengan Lintas mengungkapkan sebab-sebab jalur Pantura masih menjadi tulang punggung transportasi logistik.
“Jadi memang memang betul, khususnya kendaraan-kendaraan berat masih belum signifikan berpindah ke jalan tol sejak dibangunnya Jalan Tol Trans-Jawa ini. WIM (weigh in motion), telah dipasang di tempat-tempat tertentu, seperti di Banten 1 buah, Jabar 1 buah, Jateng 2 buah, dan Jatim 2 buah, gunanya untuk meng-collect data jumlah lalu lintas berat, termasuk berapa sebenarnya yang melewati di Pantura. Dari hasil evaluasi, yang berpindah memang ada sekitar 11,6%. Menurut kami belum terlalu signifikan, karena jumlahnya masih relatif kecil,” ujarnya.
Selanjutnya, menurut Cahyadi, “Analisa kami, pertama adalah karena memang Pantura ini kan tidak hanya sekedar membangun jalan, tetapi membangun peradaban manusia yang berkaitan dengan perilaku, kemudian kebiasaan dengan kegiatan-kegiatan sosial dan sebagainya. Jadi tidak mudah memindah dari suatu yang sudah mantap, sudah berjalan, ke peradaban yang lainnya.”
“Mungkin kendaraan truk berat ini juga perlu tempat-tempat istirahat, tempat-tempat mungkin sekedar melepas lelah. Kemudian di sana juga sudah ada pabrik-pabrik, mungkin sudah ada tempat-tempat gudang, tempat-tempat yang lainnya, sementara belum ada fasilitas seperti itu di jalan tol. Dia juga tidak bisa langsung lewat pindah dari jalan pantura ke jalan tol. Kalau memang di sana gudangnya tidak ada, gudangnya adanya di pantura kemudian pabriknya ada yang di pantura. Pasti dia dari satu tempat ke tempat lainnya, mungkin ke gudang dulu, bongkar dulu naik lagi, berangkat lagi, dan seterusnya. Di samping itu tadi, kebiasaan-kebiasaan, peradaban manusia yang memang masih ada di pantura itu,” jelas Cahyadi.
“Kedua, saya kira mungkin sedikit banyak juga tarif. Jadi, tarif ini juga mempengaruhi besarnya biaya operasional yang harus dibayarkan, harus dikeluarkan oleh para transporter kendaraan berat. Jadi sekarang ini, tarif rata-rata masih Rp 1.000 per km itu memang dirasakan masih cukup berat,” analisa Cahyadi.
Menyinggung upaya untuk menarik kendaraan berat agar beralih dari jalur Pantura Jawa ke Jalan Tol Trans-Jawa, Cahyadi mengatakan, “Ada penjajakan semacam tarif diskon, kalau kita membeli barang dengan retail/eceran dengan kita membeli barang secara partai besar biasanya ada diskon. Ini sama juga akan kita terapkan di tol kita. Tapi, kalau untuk jarak-jarak pendek mungkin mengikuti tarif normal yang jaraknya cukup panjang ada kemungkinan bisa dilakukan diskon-diskon dengan tarif tolnya lebih murah. Ini juga masih belum diterapkan, masih dijajaki. Ini merupakan salah satu upaya untuk menarik bagaimana kendaraan berat ini bisa berpindah ke jalan tol.”
Cahyadi melanjutkan, “Kemudian, yang lain juga misalnya fasilitas rest area itu kan ada fasilitas bengkel, prioritas yang lainnya, ini juga menjadi perhatian kita karena memang kendaraan ini kan tidak lewat terus keluar begitu saja. Di dalamnya juga mungkin ada yang perlu tempat rest area yang bisa untuk kendaraan-kendaraan berat, kendaraan truk, kemudian di sana mungkin ada perbaikan kendaraan, mesin, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Selanjutnya, Cahyadi menyatakan, “Jadi sementara ini, memang masih pantura menjadi tulang punggung jalur transportasi logistik yang ada di Pulau Jawa.”
“Di sisi lain juga menjadi tanggung jawab kita untuk tetap memberikan pelayanan jalan dan jembatan lebih baik lagi dan sekarang ini saya laporkan tadi, kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Jadi, kemarin ada paket-paket besar yang kita programkan di pantura untuk menanggulangi misalnya cuaca ekstrem alokasinya hampir Rp 1 triliun. Sekarang ini sudah cukup baik, kita tingkatkan terus kemantapan jalan pantura ini dengan program-program preservasi jalan dan jembatan kita,” demikian ungkapnya. (SM)
Baca juga: Sejarah Pantura dan Kondisi Saat ini