Sumber informasi tepercaya seputar infrastruktur,
transportasi, dan berita aktual lainnya.
14 December 2024
Home Fitur Mengenang Gempa, Memurnikan Kemanusiaan (Bagian 5)

Mengenang Gempa, Memurnikan Kemanusiaan (Bagian 5)

Share

Jumat, 28 September 2018. Gempa magnitudo 7,4 mengguncang Sulawesi Tengah.  Lalu, tsunami menerjang. Likuefaksi menyusul.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, bencana alam di Sulawesi Tengah tersebut mengakibatkan 4.340 jiwa meninggal atau hilang, 4.438 orang luka-luka, 172.635 warga mengungsi. Selain itu, 69.810 bangunan, dari rumah, sekolah, hingga toko rusak dan runtuh. Ruas-ruas jalan lebur, tujuh jembatan luluh lantak. Perhubungan lumpuh di sana-sini.

Segera setelah bencana, aksi tanggap darurat dijalankan. Instruksi langsung datang dari Presiden Joko Widodo. Komando dan arahan tersebut cepat turun berjenjang ke Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR) Rakyat Basuki Hadimuljono. Dari pusat, perintah mengalir ke Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Kementerian PUPR, hingga Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Provinsi Sulawesi Tengah (BPJN Sulteng).

Di lapangan, eksekusi komando tanggap darurat jatuh ke tangan Ir Rhismono, ST, MT. Saat itu dia ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen Tanggap Darurat. Perintah yang diterima, antara lain, mendedah akses darat menuju lokasi-lokasi bencana. Jalur-jalur itu harus tersedia. Segera.

Pasalnya, hanya dengan cara itu regu-regu penyelamat dapat cepat mencapai para korban, mengevakuasi jenazah, juga menolong yang luka dan menderita. Regu-regu terebut berasal dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Semua kegiatan tanggap darurat itu diawali Kepala BPJN Sulteng meminta Rhismono dan lainnyaberkumpul di Palu, Ibu Kota Sulteng.

Ir. Rhismono, ST, MT.

Tanggap darurat

Berikut Rhismono mengenang masa-masa itu:

Pada hari pertama sampai dengan ketiga aksi tanggap darurat itu, seingat saya, jalur-jalur transportasi darat dan udara terputus. Kami harus bergerak membuat akses.

Namun, di hari ketiga itu kami melihat jumlah rekan-rekan BNPB, BPBD, dan Basarnas yang bertugas relatif sedikit. Pasalnya, belum semua anggota ketiga badan itu tiba di Sulawesi Tengah.

Tugas kami dari Bina Marga memang membuka akses. Namun, regu-regu penyelamat itu memerlukan tenaga yang lebih banyak. Kami pun ikut membantu mengevakuasi jenazah. Melakukan apa yang bisa dilakukan. Kami juga mencari masker, sarung tangan, dan kantong jenazah.

Akan tetapi, toko-toko di Palu rata-rata tutup. Pemilik dan pekerjanya lari. Mereka takut akan penjarahan. Penjarahan memang terjadi di sejulah tempat. Kami pun bergegas ke tempat-tempat yang kami anggap memiliki alat perlengkapan yang dibutuhkan tim evakuasi. Kami datangi rumah sakit, puskesmas, dan kantor Dinas Kesehatan.

“Tolong dong maskernya. Sarung tangannya.” Kira-kira begitulah kami meminta dari satu tempat ke tempat lain. Yang jelas, tim evakuasi harus memperoleh perlengkapan yang mereka perlukan.

Menyambung konektivitas

Selesai membantu tim evakuasi, kami kembali berkonsentrasi pada tugas kami. Menyambung konektivitas. Kami tak lagi melihat apakah sebuah status jalan merupakan tanggung jawab kami atau tidak, seperti di masa normal.

Apa pun itu, jalan nasional, provinsi, kota, atau kabupaten yang kami temui putus dan rusak segera kami sambung. Ada jalan yang putus akibat gempa, atau karena berada di daerah patahan. Ada yang putus akibat posisinya tertarik atau terdorong sehingga jalan itu berubah, berlubang, bergelombang.

Infrastruktur jalan di Sulawesi Tengah terus direhabilitasi dan tingkatkan. Banyak infrastruktur di provinsi itu mengalami kerusakan parah menyusul gempa, tsunami, dan likuefaksi, 28 September 2018. | Majalah Lintas

Jalan yang tertimbun longsoran, segera kami bersihkan. Lubang dan cekungan kami timbun. Jalan yang menggelombang kami lakukan patching. Kami menggunakan material cold paving hot mix asbuton (CPHMA) karena pengerjaannya paling cepat.  

Bencana ini menghancurkan dan merusak begitu banyak jalan dan jembatan. Dengan begitu, kami juga memerlukan alat berat yang tidak sedikit. Untuk mengatasi tantangan itu, Kepala BPJN mengerahkan sejumlah penyedia jasa alat berat. Semua yang punya kemampuan dan dapat dihubungi. Penyedia jasa alat berat yang saat itu tengah bekerja di kebun kopi misalnya, diminta bergerak membantu evakuasi. Alat-alat berat yang ada di sejumlah tambang, juga diminta berpindah membantu.

Penuh kekurangan

Masa-masa awal tanggap darurat memang penuh dengan kekurangan di sana sini. Persoalan alat berat dicukupi, muncul tantangan lain. Misalnya bahan bakar minyak sulit diperoleh dan stok CPHMA harus dicukupkan.

Syukur, kami dibantu oleh kiriman rekan-rekan dari provinsi-provinsi tetangga. Bahan bakar solar dan premium misalnya, dipasok Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Rekan-rekan dari balai Gorontalo memasok CPHMA. Tidak cuma itu, bantuan sembako juga mengalir dari provinsi-provinsi lain.

Material akhirnya tersedia, belum tentu tenaganya. Itu yang terjadi dengan alat-alat berat karena kami kekurangan jumlah operatornya. Apalagi, regu-regu penyelamat di lokasi-lokasi evakuasi juga memerlukan alat berat untuk melancarkan proses evakuasi.

Jembatan Kuning kebanggaan warga Kota Palu roboh ketiga gempa mengguncang Sulawesi Selatan, 2018. Kini jembatan tersebut telah dibangun kembali. | Dokumentasi Kementerian PUPR

Mengoperasikan alat berat di lokasi-lokasi evakuasi jelas memerlukan keterampilan yang baik. Mereka harus bisa menjalankan alat berat untuk membongkar reruntuhan secara hati-hati, di tempat yang tepat. Di sanalah saya menyaksikan, kegiatan evakuasi ini benar-benar merupakan kerja tim.

Pertama, polisi dengan anjing pelacak menyisir reruntuhan dan puing-puing bangunan untuk mencari jenazah yang tertimbun. Jika ditemukan, lokasinya ditandai dengan bendera merah. Baru setelah itu, operator alat berat menggerakkan kendaraannya dan mengupas reruntuhan.

Menggenapi kekurangan tenaga

Begitu tuntas dan dan jenazah korban tidak lagi terhalang apa pun, tim penyelamat “masuk”.  Kami dari balai ikut menggenapi kurangnya tenaga dalam tim tersebut. Kami ikut mengangkat jenazah hingga ke dalam ambulans. Perlahan, hingga hari ketujuh tanggap darurat, tenaga-tenaga yang dibutuhkan regu-regu itu bertambah. Semakin banyak yang akhirnya tiba dari daerah-daerah lain.

Demikian sekelumit kenangan Rhismono atas malapetaka gempa, tsunami, dan likuifaksi yang dia hadapi, empat setengah tahun lampau.

Petaka meluluhlantakkan. Kampung tenggelam. Jalanan hancur. Pemukiman tersapu. Tak ada makanan. Tak ada naungan. Orang-orang terkasih tewas, hilang, terpisah. Yang hidup didera lapar. Beberapa nekat mencuri, menjarah.

Namun, bencana memurnikan kemanusiaan. Mereka yang sehat, yang kuat, yang terhindar dari gempa, datang. Menolong yang sakit, menguburkan yang wafat, menghibur yang kehilangan.

Para pegawai Balai PU adalah contoh kecil dari kemanusiaan itu. Mereka terlatih dalam memperbaiki jalan. Namun, mereka juga bergerak membantu para penolong lainnya. Mencarikan obat, masker, membangun dapur umum, dan apapun yang dibutuhkan tim sukarelawan dan para korban. Tanpa diminta. Tanpa berharap jasa. Tamat. (PAH)

Baca Juga:

Oleh:

Share

Leave a Comment

Copyright © 2023, PT Lintas Media Infrastruktur. All rights reserved.