Jakarta, Lintas — Kementerian Perhubungan, melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Udara, terus berupaya meningkatkan konektivitas di daerah terpencil, terdepan, tertinggal, dan perbatasan (3TP) dengan menggunakan angkutan udara perintis. Anggaran sebesar Rp 500 miliar telah disiapkan tahun ini untuk keperluan tersebut.
Pada Press Background di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Kamis (23/2/2023), Direktur Angkutan Udara Putu Eka Cahyadhi menyampaikan, masih banyak daerah yang sulit terjangkau.
Penyebabnya, antara lain, tidak adanya moda transportasi lain, waktu tempuh lama, dan jadwal operasional yang tidak berkesinambungan. Oleh sebab itu, angkutan udara atau pesawat perintis sangat dibutuhkan untuk mendukung pemerataan pembangunan dan penurunan disparitas harga, terutama pada daerah 3TP.
Ia meneruskan, Ditjen Perhubungan Udara memiliki dua program, yaitu angkutan udara perintis penumpang dan angkutan udara perintis kargo. Alokasi anggaran tahun 2023 sebesar Rp 500.137.491.880,-.
Alokasi anggaran tersebut untuk melayani 21 koordinator wilayah (korwil). Jumlah rute angkutan udara perintis adalah 220 rute penumpang, 40 rute perintis kargo, dan satu rute udara kargo.
Ada enam operator penerbangan perintis. Keenam operator itu adalah PT Asi Pudjiastuti Aviation, PT Nasional Global Aviation, PT Asian One Air, PT Smart Cakrawala Aviation, PT Semuwa Aviasi Mandiri, dan Trigana Air Service.
Putu mengakui, pelaksanaan program angkutan udara perintis menemui sejumlah tantangan. Tantangan-tantangan itu, antara lain, terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi khusus di daerah pegunungan, terbatasnya jumlah pesawat, kondisi keamanan, dan alam.
Akan tetapi, kata Putu, tantangan-tantangan ini bisa ditangani dengan relatif baik berkat kolaborasi dan sinergitas bersama berbagai pihak, seperti kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan TNI/Polri.
Adapun realisasi penerbangan angkutan udara perintis penumpang tahun 2022 mencapai 99,7 persen dan untuk penerbangan perintis kargo mencapai 98 persen.
“Realisasi penerbangan yang tidak mencapai 100 persen biasanya disebabkan oleh beberapa kendala, seperti cuaca buruk, aspek keamanan, dan ketersediaan barang,” jelas Putu. (*/BAS)